Hidup bagai sebuah pintu
Posted by Unknown
Posted on 3:20 AM
with 1 comment
Kata Kata Mutiara
Cinta Islami Terbaru 2015
Betapa beruntungnya kita dilahirkan dari rahim seorang muslimah. Menjadi
mukmin dan mukminah. Nikmat mana lagi yang dapat kita dustakan dari-Nya dengan
diberikan nikmat keimanan dan keislaman?! Segala puji bagi ALLAH yang telah
memerintahkan hamba-NYA untuk bertakwa kepada-NYA. Menjanjikan surga bagi yang
takut, mengharap dan bertakwa kepada-NYA. Dan yang telah mengancam dengan siksa
neraka bagi orang yang berbuat dosa dan maksiat kepada-NYA. Shalawat dan salam
semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi terbaik dan tersuci, Nabi Muhammad
shallallaahu ‘alayhi wasallam, yang telah bersabda “Sesungguhnya semua hati
bani Adam itu berada diantara dua jari Yang Maha Pengasih (ALLAH), bagaikan
sebuah hati yang Dia alihkan sekehendak-NYA.” Kemudian beliau shallallahu
‘alayhi wasallam bersabda, “Wahai Pengalih hati, alihkanlah hati kami kepada
keaatan pada-MU.” (HR. Muslim).
Baik belum tentu benar dan benar sudah tentu baik. Sepatutnya kita
meyakini dengan keteguhan hati bahwa agama itu bukan dilihat dari baik atau
tidaknya akan tetapi dari benar atau tidaknya, “innaddiina ‘indallaahil islaam”
(QS.Ali ‘Imran:19). Islam bukan sekedar agama, namun ia adalah ‘Cara Hidup
Kita’. Segala perkara sejak kita bangun hingga tidur kembali sudah diatur
sedemikian detailnya di dalam Islam, bahkan hal sekecil apapun itu, seperti
memakai sandal atau memotong kuku, ALLAH telah memberitahu kepada kita melalui
seorang Rasul, teladan kita, Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam.
ISLAM is not just “an ordinary religion”
because,, Islam is MORE THAN THAT!!
Islam is the ultimate way of life..
Islam is the truth..
The ultimate truth
from the ultimate Creator of this universe..
There is no doubt about it!
because,, Islam is MORE THAN THAT!!
Islam is the ultimate way of life..
Islam is the truth..
The ultimate truth
from the ultimate Creator of this universe..
There is no doubt about it!
.:. Al-Islamu ya’luu wa laa yu’laa ‘alaihi ~ ISLAM itu tinggi dan tiada
yang tinggi selainnya .:.
‘Abdullah ibn Mas’ud, “Bercukup-cukup dengan sunnah jauh lebih indah
daripada berpayah-payah dengan bid’ah.”
Dalam mengarungi kehidupan, kita butuh sebuah petunjuk, pegangan, peta,
sebab kita hidup di dunia ini bagai seorang musafir. Kita akan tersesat jika
bepergian tanpa sebuah petunjuk atau mungkin jika kita terus berjalan, kita
hanya akan berputar-putar tak tentu arah dan tujuan. Dipaksa memikirkan ulang
misi hidup. “Dari mana bermula dan ke mana akhirnya akan bermuara?!”#Rantau1Muara
sembari tadabbur Qur’ān [51:56]
Hidup bagai sebuah pintu, kita membukanya untuk pergi lalu membukanya
kembali untuk pulang, namun tak ada yang tahu apa yang terjadi diantara
jedanya. Semoga yang ada hanyalah kebaikan. Lalu, sudah siapkah kita? Siap
untuk sebuah kepergian… kepulangan… perjalanan… sebuah perjalanan yang berat.
Suatu perjalanan yang kita memohon kepada ALLAH agar tujuan akhirnya adalah
surga, bukan neraka! ^^ wah.. kok jadi serem yah?? Hehe.. tapi semoga dapat
diambil hikmah dan manfaat dari tulisan sederhana ini. Suatu hari Hasan
Al-Bashri ditanya, “Apa yang harus kami lakukan? Kami senantiasa bergaul dengan
kaum yang menakut-nakuti kami, hingga hati kami selalu khawatir?” Ia menjawab,
“Demi ALLAH, jika engkau berkawan dengan kaum yang selalu menakut-nakutimu
hingga engkau mendapati rasa aman jauh lebih baik, daripada mempergauli kaum
yang selalu menentramkanmu hingga engkau mendapati rasa takut.” Berteman dan
bergaullah dengan suatu kaum yang terbaik, hindarilah yang hina karena
kehinaannya membuatmu hina.
Segala permasalahan dalam hidup telah dijelaskan di dalamnya. ALLAH telah
menjadikn ISLAM sebagai “solusi terbaik” bagi setiap masalah yang dihadapi
manusia, dan menjadikan AL-QUR’AN sebagai “obat penyembuh” disetiap hati yang
sakit dan pikiran yang kacau. Ya, ALLAH memberikan kita Al-Qur’an dan As-Sunnah
sebagai petunjuk dalam mengarungi kehidupan ini. Teringat kata mutiara islam,
ungkapanindah dari Ibnul Qayyim : ♡ “Jangan melihat kehidupan ini
kecuali dengan ALLAH!! karena ALLAH adalah sumber kebahagiaan hidup.”
Kata Kata Mutiara Cinta Islami Terbaru 2015
Seorang muslim dan muslimah tidak akan meminati apapun kecuali hanya
menginginkan ridha ALLAH. Sebab segala sesuatu selain ALLAH adalah bathil! Para
ulama memberikan kata mutiara penyejuk hati tentang ridha.
Daud at Tho’I berkata : “Sebaik-baik amal adalah ridha kepada ALLAH.”
Bisyr bin Haris berkata : “Barangsiapa yang dikaruniai sifat ridha
sungguh dia telah menggapai derajat yang tertinggi.”
Ar Robi’ bin Abi Rosyid berkata : “Barangsiapa yang memohon ridha maka
dia telah memohon perkara yang agung.”
Ajarilah aku tentang IMAN?! “Engkau beriman kepada ALLAH, para
malaikat-NYA, kitab-kitab-NYA, rasul-rasul-NYA, dan hari akhir. Begitu juga
engkau beriman kepada taqdir yang baik ataupun yang buruk.” (HR. Muslim)
Ajarilah aku tentang IHSAN?! “Engkau beribadah kepada ALLAH seolah-olah
engkau melihat-NYA, seandainya engkau tidak bisa maka ALLAH yang melihatmu.”
(HR. Muslim)
Salah satu ucapan dari murid abu hanifah yaitu daud ath tha’i
“Itulah yang diperbuat keimanan. Membuka mata dan hati. Menumbuhkan
kepekaan. Menyirami kejelitaan, keserasian, dan kesempurnaan… Iman adalah
persepsi baru terhadap alam, apresiasi baru terhadap keindahan, dan kehidupan
di muka bumi, di atas pentas ciptaan ALLAH, sepanjang malam dan siang…” (Sayyid
Quthb)
Nasihat itu melekat, ketika kami duduk melingkar di mushollah
mendengarkan beliau. Katanya, “Kejarlah akhirat tapi jangan lupakan duniamu,
dek! Bukan.., kejarlah duniamu tapi jangan lupakan akhiratmu!” Kalimat itu
menguapkan kembali maknanya ketika hati dan iman-iman kami menjadi ‘futhur’
akibat tersibukkan perkara dunia atau bahkan kesia-siaan. Menguatkan
langkah-langkah kami untuk menapaki jalan yang sudah seharusnya dijejaki di
muka bumi ini, sebagai seorang hamba. Akhirat utama, dunia tak lupa.
Ber-zuhudlah dengan dunia! Sebab hidup di dunia ini penuh kehinaan untuk
sekedar kita tangisidan begitu sangat murah untuk sekedar menjadi ambisi.
Mengapa terus sibuk dengan perkara dunia, padahal ia bahkan tidak lebih
berharga dari selembar sayap nyamuk?
“Dunia itu seperti bayangan, kejarlah tapi engkau tidak akan dapat
menangkapnya. Namun, jika engkau berpaling dan menjauh darinya, maka tidak ada
pilihan baginya selain mengikutimu.” (Ibnu Qayyim Al- Jawziyyah)
“Semua itu mengungkapkan kebingungan mematikan, yang tiada ketenangan dan
kedamaian di dalamnya. Mengungkapkan keadaan jenuh yang telah mencapai titik
terrendah… Dijadikan dunia ini indah bagi mereka, lalu mereka berhenti pada
batasnya, terantuk, tak mampu melampauinya, tak kuasa menembusnya.” (Sayyid
Quthb)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda “Bukanlah KEKAYAAN itu
dari banyaknya harta, akan tetapi kekayaan itu adalah RASA CUKUP DALAM HATI.”
(HR.Bukhari no.6446 dan Muslim no.1051 dari Abu Hurairah)
Seseorang yang QONA’AH itu kaya, meski sebenarnya berkekurangan, namun
jika ia TIDAK QONA’AH maka ia menjadi fakir, meski sebanarnya berkelebihan
Perhitungan amal di dunia dan di akhirat
“…Itulah mereka sedang menyusuli aku. Dan aku bersegera kepada-MU ya
Rabbi, agar Engkau ridha kepadaku.” (QS. Thaaha: 84)
“Dua hal yang kusesali. Hari-hari yang panas tanpa kesejukan puasa.
Malam-malam yang dingin tanpa kehangatan shalat.” (‘Abdullah ibn ‘Umar,
Radhiyallahu ‘Anhu)
Layaknya Khalid bin Walid, jangan melihat seseorang dari masa lalunya,
karena seseorang yang pernah berperang melawan agama ALLAH pun akhirnya dapat
menjadi pedangnya ALLAH.
“Anugerah terbesar bagi mereka yang MENDAPATI MASALAH adalah mereka
MENDAPATI ALLAH..”
#m’tadabburi QS.al-‘Ankabut:2
#m’tadabburi QS.al-‘Ankabut:2
Kata mutiara Islam ini saya tutup dengan do’a dari seorang yang memiliki
pribadi tak kenal keluh, Ibu dari 13 Huffadz Qur’an, ibunda (almh.) Yoyoh
Yusroh Allahu Yarham :
“Ya Rabb, aku Sedang Memikirkan Posisiku Kelak di Akhirat??
Mungkinkah Aku Berdampingan dengan Penghulu Para Wanita?
Khadijah Al Kubro yang Berjuang dengan Harta dan Jiwanya?
Atau Dengan Hafsah binti Abi Bakr yang di Bela oleh Alloh Saat akan Dicerai Karena Showwamah dan Qowwamahnya?
Atau Dengan Aisyah yang Telah Hafal 3500-an Hadits, Sedang Aku….?
Atau Dengan Ummu Sulaim yang Shobiroh?
atau Dengan Asma yang Mengurus Kendaraan Suaminya dan Mencela Putranya Saat Istirahat Dari Jihad?
atau Dengan Siapa ya, Ya Allah?
Tolong Beri Kekuatan Tuk Mengejar Amaliah Mereka…
Sehingga Aku Layak Bertemu Mereka Bahkan Bisa Berbincang dengan Mereka di Taman Firdaus-MU..”
“Ya Rabb, aku Sedang Memikirkan Posisiku Kelak di Akhirat??
Mungkinkah Aku Berdampingan dengan Penghulu Para Wanita?
Khadijah Al Kubro yang Berjuang dengan Harta dan Jiwanya?
Atau Dengan Hafsah binti Abi Bakr yang di Bela oleh Alloh Saat akan Dicerai Karena Showwamah dan Qowwamahnya?
Atau Dengan Aisyah yang Telah Hafal 3500-an Hadits, Sedang Aku….?
Atau Dengan Ummu Sulaim yang Shobiroh?
atau Dengan Asma yang Mengurus Kendaraan Suaminya dan Mencela Putranya Saat Istirahat Dari Jihad?
atau Dengan Siapa ya, Ya Allah?
Tolong Beri Kekuatan Tuk Mengejar Amaliah Mereka…
Sehingga Aku Layak Bertemu Mereka Bahkan Bisa Berbincang dengan Mereka di Taman Firdaus-MU..”
“Hari ini waktunya beramal tanpa perhitungan, sedang di akhirat nanti
waktunya perhitungan dan tak ada lagi amal perbuatan.”-‘Ali bin Abi Thalib ra.
Demikianlah kata kata Mutiara cinta islami terbaru 2015 ini ditulis,
semoga para pembaca dapat memanfaatkan tulisan ini dalam rangka saling
memperingati dan saling mengingatkan antar sesama manusia. Dan dapat dijadikan
juga sebagai bahan evaluasi untuk diri sendiri dan keluarga.
TAUBAT NASUHA
Posted by Unknown
Posted on 7:44 PM
with No comments
Taubat adalah kembalinya seseorang dari perilaku dosa ke
perilaku yang baik yang dianjurkan Allah. Taubat nasuha adalah taubat yang
betul-betul dilakukan dengan serius atas dosa-dosa besar yang pernah dilakukan
di masa lalu. Pelaku taubat nasuha betul-betul menyesali dosa yang telah
dilakukannya, tidak lagi ada keinginan untuk mengulangi apalagi berbuat lagi,
serta menggantinya dengan amal perbuatan yang baik dalma bentuk ibadah kepada
Allah dan amal kebaikan kepada sesama manusia. Dosa ada macam: dosa pada Allah
saja dan dosa kepada Allah dan manusia (haqqul adami). Cara tobat karena dosa
pada Allah cukup meminta ampun kepada Allah sedang menyangkut kesalahan pada
sesama manusia harus meminta maaf langsung kepada orang yang bersangkutan
disamping kepada Allah.
Seorang muslim wajib bertaubat nasuha atas dosa yang dilakukannya.
DAFTAR ISI
فمن تاب من بعد ظلمه وأصلح فإن الله يتوب عليه , إن الله غفور رحيم
Artinya: Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
- QS Al-An'am : 54
وإذا جاءك الذين
يؤمنون بآياتنا فقل سلام عليكم , كتب ربكم على نفسه الرحمة , أنه من عمل منكم سوءا
بجهالة ثم تاب من بعده وأصلح فأنه غفور رحيم
Artinya: Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah: "Salaamun alaikum. Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
- QS At-Taubah : 118
وعلى الثلاثة الذين خلفوا حتى إذا ضاقت عليهم الأرض بما رحبت وضاقت عليهم أنفسهم وظنوا أن لا ملجأ من الله إلا إليه ثم تاب عليهم ليتوبوا , إن الله هو التواب الرحيم
Artinya: dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
QS At-Tahrim :8
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ
يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ
تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa
(taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi
kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai
QS Al-Baqarah 2:222
QS Al-Baqarah 2:222
إِنَّ اللَّـهَ
يُحِبُّ التَّوّٰبِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Artinya: Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
QS Ali Imran 3: 133-134
وَسَارِعُوٓا۟ إِلَىٰ
مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالْأَرْضُ
أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِي الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى السَّرَّآءِ وَالضَّرَّآءِ
وَالْكٰظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّـهُ يُحِبُّ
الْمُحْسِنِينَ وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا۟ فٰحِشَةً أَوْ ظَلَمُوٓا۟ أَنفُسَهُمْ
ذَكَرُوا۟ اللَّـهَ فَاسْتَغْفَرُوا۟ لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُالذُّنُوبَ
إِلَّااللَّـهُ وَلَمْ يُصِرُّوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلُوا۟ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Artinya: Bersegaralah kepada ampunan dari tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya baik di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampunan terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.
QS An-Nisa' 4:17
إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوَءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِن قَرِيبٍ فَأُوْلَـئِكَ يَتُوبُ اللّهُ عَلَيْهِمْ وَكَانَ اللّهُ عَلِيماً حَكِيماً
Artinya:
Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang
mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan
segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
QS At-Taubat 9:104
QS At-Taubat 9:104
أَلَمْ يَعْلَمُوا
أَنَّ اللَّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَأْخُذُ الصَّدَقَاتِ
وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
Artinya:
Tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari
hamba-hamba-Nya dan menerima zakat dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat
lagi Maha Penyayang?
Hadits diriwayatkan oleh Jamaah (sekelompok perawi hadits):
Hadits diriwayatkan oleh Jamaah (sekelompok perawi hadits):
كلُّ بَني آدمَ
خطَّاء، وخيرُ الخطَّائين التوَّابون
Artinya:
Setiap anak Adam (cenderung) berbuat kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang
salah adalah yang bertaubat.
DEFINISI TAUBAT NASUHA
Taubat Nasuha adalah bertaubat dari dosa yang diperbuat saat ini dan menyesal atas dosa-dosa yang dilakukannya di masa lalu dan berniat sepenuh hati untuk tidak melakukannya lagi di masa medatang. Apabila dosa atau kesalahan tersebut terhadap esama manusia (haqqul adami), maka caranya adalah dengan meminta maaf yang dizalimi selain hal-hal yang disebut.
SYARAT DAN TATA CARA TAUBAT NASUHA
Ada 2 (dua) tipe dosa kesalahan yang dilakukan oleh manusia yaitu dosa kepada Allah dan dosa atau salah kepada sesama manusia (haqqul adami). Rincian tata tacara tobatnya sebagai berikut:
TAUBAT ATAS DOSA KEPADA ALLAH
Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar 2/845 mengatakan bahwa ada 3 (tiga) syarat dalam melaksanakan taubat nasuha atas dosa yang dilakukan kepada Allah:
DEFINISI TAUBAT NASUHA
Taubat Nasuha adalah bertaubat dari dosa yang diperbuat saat ini dan menyesal atas dosa-dosa yang dilakukannya di masa lalu dan berniat sepenuh hati untuk tidak melakukannya lagi di masa medatang. Apabila dosa atau kesalahan tersebut terhadap esama manusia (haqqul adami), maka caranya adalah dengan meminta maaf yang dizalimi selain hal-hal yang disebut.
SYARAT DAN TATA CARA TAUBAT NASUHA
Ada 2 (dua) tipe dosa kesalahan yang dilakukan oleh manusia yaitu dosa kepada Allah dan dosa atau salah kepada sesama manusia (haqqul adami). Rincian tata tacara tobatnya sebagai berikut:
TAUBAT ATAS DOSA KEPADA ALLAH
Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar 2/845 mengatakan bahwa ada 3 (tiga) syarat dalam melaksanakan taubat nasuha atas dosa yang dilakukan kepada Allah:
اعلم أن كل من ارتكب معصية لزمه المبادرة إلى التوبة منها ، والتوبة من حقوق الله تعالى يشترط فيها ثلاثة أشياء : أن يقلع عن المعصية في الحال . وأن يندم على فعلها . وأن يعزم ألا يعود إليها .
Ketahuilah bahwa setiap orang yang melaksanakan dosa maka wajib baginya segera melakukan taubat (nasuha). Adapun taubat dari dosa kepada Allah (haqqullah) ada tiga syarat:
Pertama, berhenti dari perbuatan dosa itu seketika itu juga.
Kedua, menyesali perbuatannya.
Ketiga, berniat tidak mengulangi lagi.
Apabila tidak terpenuhi ketiga syarat di atas, maka tidak sah taubatnya.
TAUBAT DARI DOSA PADA SESAMA MANUSIA (HAQQUL ADAMI)
Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar 2/845 menyatakan cara taubat dari dosa yang bersifat haqqul adami atau pada manusia adalah sebagai berikut:
Pertama, meninggalkan perilaku dosa itu sendiri
Kedua, menyesali perbuatan maksiat yang telah dilakukan.
Ketiga, berniat tidak melakukannya lagi selamanya.
Keempat, membebaskan diri dari hak manusia yang dizalimi dg cara sbb:
(a) Apabila menyangkut harta dengan cara mengembalikan harta tersebut;
(b) Apabila menyangkut non-materi seperti pernah memfitnah, ngerasani (ghibah), dll maka hendaknya meminta maaf kepada yang bersangkutan.
Bertaubat pada sebagian dosa tertentu adalah sah pada dosa tersebut sedang dosa yang lain masih tetap demikian pendapat ahlul haq.
Selain itu, taubat nasuha hendaknya diiringi dengan amal perbuatan yang baik sebagai penebus dosa seperti memperbanyak infaq dan sedekah kepada fakir miskin, yatim piatu atau yayasan sosial Islam seperti masjid dan pesantren serta amal ibadah sunnah yang lain.
HARUSKAH MEMBERI TAHU DAN MENYEBUT JENIS KESALAHAN SAAT MEMINTA MAAF PADA SESAMA MANUSIA?
Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar 2/845 menyebutkan ada dua pendapat di kalangan ulama mazhab Syafi'i sebagai berikut:
فيه وجهان لأصحاب
الشافعي رحمهم الله :
أحدهما : يشترط بيانه ، فإن أبرأه من غير بيانه ، لم يصح كما لو أبرأه عن مال مجهول .
والثاني : لا يشترط ، لأن هذا مما يتسامح فيه ، فلا يشترط علمه ، بخلاف المال .
والأول أظهر ، لأن الإنسان قد يسمح بالعفو عن غيبة دون غيبة .
فإن كان صاحب الغيبة ميتاً أو غائباً ، فقد تعذر تحصيل البراءة منها ، لكن قال العلماء : ينبغي أن يكثر الاستغفار له ، والدعاء ، ويكثر من الحسنات .
أحدهما : يشترط بيانه ، فإن أبرأه من غير بيانه ، لم يصح كما لو أبرأه عن مال مجهول .
والثاني : لا يشترط ، لأن هذا مما يتسامح فيه ، فلا يشترط علمه ، بخلاف المال .
والأول أظهر ، لأن الإنسان قد يسمح بالعفو عن غيبة دون غيبة .
فإن كان صاحب الغيبة ميتاً أو غائباً ، فقد تعذر تحصيل البراءة منها ، لكن قال العلماء : ينبغي أن يكثر الاستغفار له ، والدعاء ، ويكثر من الحسنات .
Artinya: Ada dua pendapat di kalangan ulama mazhab Syafi'i.
Pertama, disyaratkan menyebutkan jenis kesalahan yang dilakukan. Apabila yang dizalimi memaafkan tanpa perlu, maka tidak sah sebagaimana orang membebaskan hutang dari harta yang tidak diketahui.
Kedua, tidak disyaratkan menyebut kesalahannya karena hal ini termasuk dari perkara yang diminta maaf, maka tidak disyaratkan tahunya yang dizalimi, beda halnya dengan harta.
Pendapat pertama adalah lebih jelas karena manusia terkadang memaafkan dari suatu ghibah tapi tidak dari ghibah yang lain.
Apabila orang yang digosipi itu meninggal atau tidak diketahui tempatnya, maka tidak perlu meminta maaf darinya. Akan tetapi ulama berkata: Sebaiknya memperbanyak memintakan maaf buat dia, mendoakannya dan memperbanyak beruat baik.
Ibnu Muflih dalam Al-Adab Al-Syar'iyah 1/92 menyatakan:
"Menurut satu pendapat (yang wajib meminta maaf) apabila orang yang dizalimi itu diketahui keberadaannya, apabila tidak diketahui, maka si penggosip hendaknya mendoakannya, dan meminta pengampunan atasnya. Menurut Syaikh Taqiuddin ini adalah pendapat kebanyakan ulama.
Apabila seseorang bertaubat dari perbuatan gosip (ghibah) atau menuduh zina, apakah disyaratkan memberitahu orang digosipi atau yang dituduh dan meminta maaf? Ada dua pendapat. Menurut Al-Qadhi tidak wajib memberitahu dan meminta maaf (a) berdasarkan sebuah hadis dari riwayat Abu Muhammad Al-Khilal dengan sanad dari Anas bin Malik; (b) dan karena memberitahu orang yang digosipi akan menimbulkan rasa sedih padanya.
Ulama mazhab Hanbali memilih pendapat kedua yakni tidak perlu memberitahu orang yang digosipi dan hendaknya didoakan baik sebagai ganti atas kezaliman yang dilakukan sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah atsar (perkataan Sahabat)."
HUKUM MEMBERI MAAF KESALAHAN ORANG LAIN
Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar 2/845 berkata:
واعلم أنه يستحب لصاحب الغيبة أن يبرئه منها ، ولا يجب عليه ذلك لأنه تبرع وإسقاط حق ، فكان إلى خيرته ، ولكن يستحب له استحباباً متأكداً الإبراء ، ليخلص أخاه المسلم من وبال المعصية ، ويفوز هو بعظيم ثواب الله تعالى ومحبة الله سبحانه وتعالى . انتهى وهو قول الشافعي
Artinya: Ketahuilah bahwa hukumnya sunnah bagi orang yang digosipi (sohibul ghibah) untuk memaafkan kesalahan orang yang menggosipinya. Namun hal itu tidak wajib karena hal itu adalah perbuatan baik yang merupakan hak baginya. Maka hal itu menjadi kebaikannya. Akan tetapi disunnahkan baginya untuk memaafkan kesalahan orang lain dengan sunnah muakkad (sangat dianjurkan) supaya dia dapat menyucikan saudaranya sesama muslim dari perbuatan maksiat. Apabila memaafkan, maka dia akan beruntung mendapatkan pahala besar dan cinta dari Allah. Ini adalah pernyataan Imam Syafi'i.
HUKUM TAUBAT NASUHA
Hukum taubat nasuha adalah wajib berdasarkan pada perintah dalam beberapa ayat Quran di atas seperti dalam QS At-Tahrim :8; Ali Imron :133-134 dan ulama sepakat (ijmak) atas wajibnya seorang muslim bertaubat atas dosa yang dilakukannya.
TANDA TAUBAT YANG DITERIMA
Taubat yang diterima dapat ditandai dengan perubahan perilaku orang yang bertaubat dalam segi meninggalkan perbuatan dosa dan taat menjalankan perintah Allah. Selain itu, ia semakin meningkat ghirah atau spirit Islamnya dengan mendasarkan segala perbuatannya pada pertimbangan syariah Islam.
- See more at: http://www.alkhoirot.net/2012/09/taubat-nasuha.html#sthash.gCaHCMze.dpuf
Menuntut Ilmu Jalan Menuju Syurga
Posted by Unknown
Posted on 10:26 PM
with No comments
Ilmu adalah pengetahuan (atau penguasaan maklumat)
yang merupakan lawan kepada ketidak-tahuan atau kejahilan. Ilmu secara syar’i
adalah ilmu yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang berupa penjelasan dan petunjuk yakni
al-Qur’an, as-Sunnah dan kefahaman yang benar terhadapnya. Iaitu ilmu yang
membimbing kehidupan di dunia hingga ke akhirat, sampai menuju Syurga Allah.
Kata Imam adz-Dzahabi rahimahullah (Wafat:
748H):
العلم ليس هو بكثرة الرواية، ولكنه نور يقذفه الله في القلب، وشرطه
الاتباع، والفرار من الهوى والابتداع
“Ilmu itu bukanlah dengan banyaknya riwayat, tetapi ia
adalah cahaya yang dicampakkan oleh Allah ke dalam hati, dan syaratnya adalah
al-ittiba’ (mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam), dan melarikan
diri dari hawa nafsu serta menjauhi al-ibtida’ (bid’ah).” (adz-Dzahabi, Siyar
A’lam an-Nubala’, 13/323)
Kata Imam Abu Hatim ar-Razi:
العلم عندنا ما كان عن الله تعالى من كتاب ناطق ناسخ غير منسوخ وما صحت به
الأخبار عن رسول الله مما لا معارض له وما جاء عن الألباء من الصحابة ما اتفقوا
عليه فإذا اختلفوا لم يخرج من اختلافهم فإذا خفي ذلك ولم يفهم فعن التابعين فإذا
لم يوجد عن التابعين فعن أئمة الهدى من أتباعهم
“Ilmu bagi kita adalah apa yang bersumber dari Allah
Ta’ala sebagaimana yang ditetapkan melalui kitab-Nya. Khabar yang benar
bersumber dari Rasulullah tanpa ada perselisihan. Kemudian keputusan yang
datang dari kesepakatan para sahabat jika terdapat perselisihan yang tiada
jalan keluar dalam memahami dua sumber tersebut. Kemudian jika tetap ada
persoalan yang tidak dapat difahami, maka pergi kepada perkataan para tabi’in.
Sekiranya tidak ditemukan dalam perkataan para tabi’in, maka diambil dari para
imam yang mendapat petunjuk.” (Ibn al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in, 2/248)
Al-Imam Ibnu Rejab Al-Hanbali rahimahullah (Wafat:
795H) menukilkan:
وقال الجنيد علمنا هذا مقيد بالكتاب والسنة من لم يقرأ
القرآن ويكتب الحديث لا يقتدى به في علمنا هذا
“Berkata Al-Junayd (bin Muhammad), “Ilmu kita ini
diikat (atau dibatasi) dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, sesiapa yang tidak
membaca Al-Qur’an dan tidak menulis (atau mencatat) hadis-hadis Nabi, maka dia
tidaklah dapat diikuti (sebagai rujukan) pada ilmu kita ini.”.” (Majmu’
Rasa’il Ibn Rajab Al-Hanbali, 3/25 – Tahqiq Thal’at bin Fu’ad Al-Hulwani)
Al-Imam Ibnu Rejab Al-Hanbali rahimahullah (Wafat:
795H) mengatakan:
فالعلم النافع من هذه العلوم كلها ضبط نصوص الكتاب
والسنة وفهم معانيها والتقيد في ذلك بالمأثور عن الصحابة والتابعين وتابعيهم في معاني
القرآن والحديث. وفيما ورد عنهم من الكلام في مسائل الحلال والحرام. والزهد. والرقائق.
والمعارف. وغير ذلك والاجتهاد على تمييز صحيحه من سقيمه أولا. ثم الاجتهاد على الوقوف
في معانيه وتفهمه ثانياً. وفي ذلك كفاية لمن عقل. وشغل لمن بالعلم النافع عني واشتغل.
“Maka ilmu yang bermanfaat dari seluruh ilmu ini
(yakni yang telah beliau sebutkan sebahagian bentuknya di risalah beliau ini –
pent.) adalah meneliti teks-teks al-Qur’an dan as-Sunnah, memahami
makna-maknanya dan mengikat diri dalam (memahami) sumber tersebut berdasarkan
apa yang diriwayatkan dari para sahabat, tabi’in, dan orang-orang yang
mengikuti mereka dalam mengambil makna al-Qur’an dan hadis. Dan pada apa-apa
yang datang dari mereka dari ucapan-ucapan mereka tentang permasalahan halal,
haram, zuhud, ar-raqaa’iq (melembutkan hati), ilmu pengetahuan, dan yang
selainnya. Berikutnya, dia berusaha untuk membezakan antara yang sahih dengan
yang tidak sahih sebagai langkah pertama, kemudian berusaha untuk memahaminya
sebagai langkah keduanya.
Dan sudah tentu, perkara (atau urusan) tersebut sudah
cukup berat lagi menyibukkan bagi orang yang berakal dan bagi sesiapa yang
memfokuskan dirinya terhadap ilmu yang bermanfaat!” (Majmu’
Rasa’il Ibn Rajab Al-Hanbali, 3/26)
Ilmu yang bermanfaat merujuk kepada dua perkara, iaitu
ma’rifatullah
(mengenal Allah) dan mengetahui apa yang menjadi hak-hak-Nya, mengetahui
nama-nama-Nya yang husna (yang baik lagi indah), sifat-sifat-Nya yang maha
tinggi, dan perbuatan-Nya yang maha bijaksana.
Dengan ilmu ini dan mengetahuinya, maka akan menjadi
sebab kepada pengangungan dan pengabdian hanya kepada-Nya, melahirkan rasa
takut hanya pada-Nya, melahirkan rasa cinta (mahabbah) dan pengharapan (rodja’)
hanya pada-Nya, sabar (atas musibah), redha (atas ketentuan-Nya), dan tawakkal
hanya kepada Allah.
Manakala yang kedua, ilmu yang bermanfaat adalah ilmu
(pengetahuan) tentang apa-apa yang dicintai oleh Allah dan apa-apa yang
dibenci-Nya. Iaitu dengannya akan dapat membawa kepada segala apa yang diredhai
dan dicintai oleh Allah sama ada pada amalan hati, perbuatan, dan lisan
(perkataan). Wajib bagi kita untuk segera melaksanakannya hasil pengaruh dari
ilmu tersebut.
Ini adalah sebagaimana yang disebut oleh Al-Hafiz Ibnu
Rejab al-Hanbali rahimahullah (Wafat: 795H) dalam risalahnya yang berjudul Fadhlu ‘Ilm as-Salaf
‘ala al-Kholaf atau sebagaimana yang tercantum dalam Majmu’ Rasa’il
beliau.
Kata Al-Hafiz Ibn Rejab lagi:
فإذا أثمر العلم لصاحبه هذا فهو علم نافع فمتى كان
العلم نافعاً ووقر في القلب فقد خشع القلب للَّه وانكسر له. وذل هيبة وإجلالا وخشية
ومحبة وتعظيما. ومتى خشع القبل للَّه وذل وانكسر له قنعت النفس بيسير الحلال من الدنيا
وشبعت به فأوجب لها ذلك القناعة والزهد في الدنيا. وكل ما هو فان لا يبقى من المال
والجاه وفضول العيش الذي ينقص به حظ صاحبه عند اللَه من نعيم الآخرة وإن كان كريماً
على اللَه
“Jadi apabila ilmu itu menghasilkan buah untuk
dirinya, maka inilah ilmu yang bermanfaat. Maka apabila ilmu itu bermanfaat,
dia pun akan masuk ke dalam hati-hati lalu menjadikan hati itu khusyu’
dan tunduk hanya kepada Allah. Ilmu itu menjadikan dirinya merendah
terhadap-Nya kerana haibah (wibawa), kemuliaan, khasy-yah (rasa takut), mahabbah
(cinta), dan meng-agungkan-Nya. Dan apabila khusyu’ dan tunduk kepada Allah, merasa
rendah serta takut hanya kepada-Nya, maka diri seseorang akan diberikan rasa qona’ah
(rasa serba cukup di dalam hati), dipermudahkan kepada suatu yang halal dari
kelebihan dunia, rasa puas dengannya, disempurnakan qona’ah dengan yang
demikian, dan mampu zuhud (meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat) pada
dunia dan segala apa yang tidak akan kekal dan apa-apa yang tidak akan kekal
dari harta, kedudukan, serta dari kecintaan terhadap hal sia-sia yang boleh
mengurangi kedudukannya di sisi Allah dari kenikmatan akhirat walaupun dia
memuliakan Allah.” (Majmu’ Rasa’il Ibn Rajab Al-Hanbali, 3/27)
Beliau juga menegaskan bahawa:
فالعلم النافع ما عرف بين العبد وربه ودل عليه حتى
عرف ربه ووحده وأنس به واستحى من قربه. وعبده كأنه يراه.
“Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membawa seorang
hamba mengenal Rabb-nya dan menjadi dalil (petunjuk) baginya sampai dia
benar-benar mengenal Rabb-nya dan mentauhidkan-Nya, merasa malu kepada-Nya
kerana kedekatan-Nya (yakni Allah sentiasa mengawasinya) dan menjadikan dirinya
beribadah hanya kepada Allah seakan-akan melihat-Nya.” (Majmu’ Rasa’il Ibn
Rajab, 3/28)
Melalui apa yang diambil daripada beliau ini
menunjukkan adanya ilmu yang tidak bermanfaat bagi diri seorang hamba iaitu
apabila ilmu tersebut tidak menjadikannya takut kepada Allah, tidak
menjadikannya bertauhid kepada-Nya, serta tidak juga membawa untuk taat dan
taqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebaliknya membawa pula kepada apa yang
dibenci oleh Allah. Tidak kiralah ilmu tersebut tergolong dalam ilmu-ilmu yang
syar’i lagi wajib atau ilmu-ilmu berbentuk kemahiran kehidupan, sekiranya ia
membawa pelakunya kepada apa-apa yang dicintai dan diredhai Allah, maka ia
adalah ilmu yang bermanfaat.
Sebaliknya,
sekiranya ilmu tersebut walaupun ia adalah ilmu-ilmu yang syar’i tetapi tidak
diamalkan seiring keredhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka ia akan termasuk ke
dalam jajaran ilmu-ilmu yang tidak bermanfaat. Ia akan menjadi ilmu yang tidak
akan mampu ___________________________________________________
Ini dapat difahami antaranya berdasarkan firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar
mereka mengabdikan diri hanya kepada-Ku.” (Surah adz-Dzariyat, 51: 56)
Di samping itu, dari hadis Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ
وَجَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا، لَمْ
يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sesiapa yang menuntut ilmu yang sepatutnya untuk
mencari wajah Allah ‘Azza wa Jalla, tetapi dia tidak menuntutnya melainkan
untuk mencari dunia dengannya, maka pada hari kiamat dia tidak akan dapat
mencium aroma Syurga.” (Musnad Ahmad, no. 8457. Sunan Abi Dawud, no. 3664. Ibnu
Majah, no. 248. Dinilai sahih oleh An-Nawawi, Al-Albani, dan Syu’aib
Al-Arnauth)
Dari hadis Ibn Ka’ab bin Malik
dari ayahnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ طَلَبَ العِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ العُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِيَ بِهِ
السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ
النَّارَ
“Sesiapa yang menuntut ilmu yang tujuannya untuk
mendebat para ulama, atau untuk menghujat (atau mempersenda) orang-orang bodoh,
atau yang dengannya untuk memalingkan wajah manusia kepadanya; nescaya Allah
memasukkannya ke Neraka.” (Sunan At-Tirmidzi, no. 2654)
Sahabat Nabi, Ibnu Mas’oud radhiyallahu ‘anhu berkata:
لا تعلَّموا العِلمَ لثلاثٍ: لِتُماروا به السُّفَهاء، أو لِتُجادِلوا به
الفُقهاء، أو لتصرفوا بهِ وُجُوه النَّاس إليكم، وابتغُوا بقولِكُم وفعلِكم ما
عندَ اللهِ، فإنَّه يبقَى ويذهبُ ما سواهُ
“Janganlah kalian mempelajari ilmu kerana tiga
perkara: (1) dalam rangka menghujat (atau mempersenda) orang-orang
bodoh, (2) untuk mendebat para ulama, dan (3) untuk memalingkan
wajah-wajah manusia ke arah kalian. Carilah apa yang ada di sisi Allah dengan
ucapan dan perbuatan kalian. Kerana sesungguhnya, itulah yang kekal abadi,
manakala yang selain itu akan hilang dan pergi.” (Ibnu ‘Abdil Barr, Jaami’
Bayaan Al-‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/176)
Maka atas sebab itulah setiap ilmu yang kita pelajari
seharusnya menuju kepada jalan tersebut, iaitu jalan ‘ubudiyyah (penghambaan
yang benar) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Iaitu ilmu yang menjadikan kita
tunduk, cinta, mengabdi, mengharap, tawakkal, dan takut hanya kepada Allah
dengan jalan yang benar.
Apabila kita benar-benar faham bahawa prioriti ilmu
yang syar’i lagi bermanfaat adalah ilmu-ilmu yang datang dari al-Qur’an,
as-Sunnah, dan kefahaman terhadap keduanya, maka sudah seharusnya kita
meletakkan usaha dan keutamaan yang tinggi untuk menekuninya. Itulah yang
merupakan tradisi para ulama dan ilmuan Islam dari dahulu hingga kini.
Sahabat Nabi, Jaabir bin ‘Abdillah sanggup melakukan
safar yang memakan masa satu bulan perjalanan semata-mata untuk menyemak satu
hadis dengan seorang lain sahabat Nabi yang lainnya bernama ‘Abdillah bin Unays
radhiyallahu ‘anhuma. (lihat: Shahih Al-Bukhari, Bab: Al-Khuruj fi Thalab
Al-‘Ilm)
Kata Al-Imam Yahya bin Abi Katsir, “Aku mendengar
ayahku berkata:
لَا يُسْتَطَاعُ الْعِلْمُ بِرَاحَةِ الْجِسْمِ
“Tidak akan didapatkan ilmu itu dengan jasad yang
rehat (bersantai-santai).” (Shahih Muslim, no. 612)
Jika kita melihat imam Asy-Syafi’i rahimahullah yang
merupakan imam yang kita ikuti mazhabnya sebagai pedoman, beliau hafaz dan
menguasai al-Qur’an seawal usianya 9 tahun. Manakala dalam sebahagian riwayat
mengatakan 7 tahun. Pada ketika usianya 13 tahun pula, beliau menguasai kitab
hadis yang unggul di zamannya, iaitu al-Muwaththa’ karya imam Malik
rahimahullah.
Manakala Al-Imam al-Bukhari ketika usia 11
tahun, beliau telah mampu berhujjah dengan gurunya dalam ilmu hadis dan
memiliki hafalan hadis yang sangat menakjubkan. Demikian juga dengan para ulama
lainnya. Pada kisah dan peribadi mereka terdapat contoh yang baik untuk kita
hayati dan contohi.
Jika kita bandingkan dengan usia kanak-kanak di
sekitar kita hari ini, pada usia tersebut kebanyakan mereka masih lagi membaca
al-Qur’an dengan merangkak atau mungkin ada yang masih tidak tahu walaupun
untuk mengeja. Atau mungkin sebahagian mereka lebih seronok dibuai khayalan
kartun-kartun pengkhayal yang menyia-nyiakan waktu sambil memeluk bantal busuk.
Hadanallaahu
waiyyahum.
Demikianlah
keadaannya, di ketika para ilmuan menyibukkan umur-umur mereka dengan al-Qur’an
dan hadis-hadis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, sebahagian kita ada
yang lebih gembira untuk memilih kartun, muzik, dan video game sebagai santapan
rohani anak-anaknya. Sehingga masuk ke sekolah dan universiti pun kita lebih
risau jika anak-anak gagal dalam peperiksaan dan tidak meraih peluang pekerjaan
yang lumayan. Tetapi amat jarang sekali risau sekiranya anak-anak tidak
bersolat dan gagal memahami aqidah yang benar.___________________________________________________
Sebenarnya kita perlu sentiasa membudayakan tradisi
ilmu yang ditinggalkan oleh para ulama sejak seawal-awal usia lagi. Lebih-lebih
lagi untuk menangkis syubhat-syubhat yang dihantar oleh musuh-musuh Islam
melalui muzik, kartun, massa, pemakanan dan pelbagai bentuk lainnya yang hebat
melanda ketika ini. Iaitu dengan menghidupkan budaya bersungguh-sungguh
menela’ah, membaca, memahami, dan menghayati sunnah-sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Berapa ramai di antara kita yang menempatkan
buku-buku para ulama di rumah-rumah sebagai bahan bacaan dan rujukan? Sama ada
dari rangkaian kitab-kitab aqidah seperti Syarah ath-Thahawiyah oleh Imam Ibnu
Abi al-‘Izz al-Hanafi (Wafat: 792H), Syarh as-Sunnah oleh Imam al-Barbahari
(Wafat: 329H), Syarah Ushul as-Sunnah Imam Ahmad B. Hanbal (Wafat: 241H), Ahlus Sunnah wa
I’tiqaduddiin oleh Ibnu Abi Hatim ar-Razi (Wafat: 327H), ‘Aqidatus Salaf wa
Ash-habul Hadtis susunan Imam Abu ‘Utsman ash-Shobuni (Wafat:
449H), Lum’atul
I’tiqad oleh Ibnu Qudamah (Wafat: 629H) berserta Syarahnya, al-‘Ubbudiyyah
oleh Ibnu Taimiyyah (Wafat: 728H), Fath al-Majid Syarah Kitabut Tauhid,
dan selainnya dari jajaran kitab-kitab ilmuan ulung generasi awal ahlus sunnah
wal-jama’ah guna buat pedoman? Atau juga kitab-kitab aqidah hasil susunan
barisan ulama terkemudian yang mengikuti jejak langkah generasi salafush Sholeh.
Kemudian diikuti pula oleh kitab-kitab tafsir
al-Qur’an seperti Tafsir Ibnu Katsir dan kitab-kitab hadis seperti Riyadhus Shalihin
oleh Imam an-Nawawi (Wafat: 676H), asas-asas Mustholah al-Hadis, sehinggalah kepada
rangkaian kitab-kitab hadis yang utama seperti Shahih al-Bukhari, Muslim, serta
siri kitab-kitab syarahannya.
Jangan biarkan anak-anak memenuhi rohaninya dengan
majalah para artis dan bintang bola, komik-komik, atau surat khabar-surat
khabar yang sering bermain isu serta provokasi. Sehingga risalah hadis empat
puluh (al-Arba’in
an-Nawawiyyah) pun terasa janggal untuk dibelek sampai ada yang
tidak pernah mengetahui kewujudannya. Bimbinglah mereka untuk mengenali para
ulama dan karya-karyanya. Jangan biarkan tokoh-tokoh jalanan lebih kita kenali
berbanding tokoh-tokoh ulung agama ini. Kerana ilmu yang bermanfaat itu hanya
dapat diperolehi dengan menekuni warisan tinggalan ulama berupa aqidah dan
akhlak peribadi mereka melalui tokoh-tokoh yang mengikuti mereka serta
ilmu-ilmu yang tertuang dalam karya-karya agung mereka yang berisi penjelasan
al-Qur’an dan as-Sunnah.
Atas sebab itulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam telah bersabda (sebagaimana dalam hadis Abu Darda’):
وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ
يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ
أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris para Nabi.
Dan para Nabi itu tidaklah mewariskan dinar mahu pun dirham. Namun, mereka
mewariskan ilmu. Maka, sesiapa yang mengambil ilmu tersebut, benar-benar dia
telah mendapat kedudukan yang sangat besar.” (Sunan Abu Daud, no. 3641)
Maka kata Imam Ibn Hibban rahimahullah (Wafat: 354H):
والأنبياء لم يورثوا إلا العلم وعلم نبينا صلى الله
عليه وسلم سنته فمن تعرى عن معرفتها لم يكن من ورثة الأنبياء
“… para nabi itu tidak mewariskan apa pun melainkan
ilmu dan ilmu Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah sunnahnya. Sesiapa
pun yang tidak mengetahui sunnah, maka bukanlah pewaris para nabi.” (Shahih
Ibnu Hibban, 1/291, tahqiq Syua’ib al-Arna’uth)
Ilmu mengangkat kedudukan
Dengan ilmu darjat seseorang yang beriman diangkat
oleh Allah. Ilmu yang benar membantu kita memahami serta melaksanakan perintah dan
menjauhi larangan Allah. Dengan adanya ilmu di dalam dada, jiwa menjadi bahagia
dan tenteram. Dengan ilmu, kita memiliki kefahaman menghadapi pelbagai ujian
dan fitnah. Ilmu menjadikan kita mampu membezakan antara yang baik dengan yang
buruk, yang maslahah dengan yang mudharat, sekaligus memandu kita supaya
memilih kebaikan berbanding keburukan. Dengannyalah juga kita dibimbing untuk
berjalan menuju Syurga Allah yang luas terbentang dan menjauhi Neraka yang
sengsara.
Buat diri penulis dan rakan pembaca, ingatlah bahawa
kebaikan itu hanya diperolehi dengan ilmu-ilmu yang syar’i, iaitu dengan
kefahaman dan pengamalan yang benar terhadap agama ini.
Kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Sesiapa yang Allah kehendaki kebaikan untuknya,
nescaya Allah faqihkan dia dalam agama.” (Shahih Muslim, no. 1037)
Lihatlah… bukan dijadikan dia banyak wangnya, mewah
kenderaan dan pakaiannya, atau tinggi jawatannya. Bukan pula ditinggikan
popularitinya! Tetapi kata Nabi:
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
____________________________________
Dan kefaqihan itu tidak datang melayang, melainkan
dengan bersusah-payah dan mempertekunkan diri-diri kita dalam mempelajari
ilmu-ilmu yang syar’i.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ
بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ
اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ
عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ
وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
“Sesiapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu
(dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah), maka Allah akan memudahkan
baginya jalan menuju Syurga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah sebuah
rumah Allah dari rumah-rumah Allah (masjid) untuk membaca Kitabullah dan
mempelajarinya di antara mereka, melainkan ketenangan (sakinah) turun kepada
mereka, rahmat Allah meliputi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di
hadapan para malaikat yang berada di sisi-Nya.” (Shahih Muslim, no. 2699. Sunan
Abi Dawud, no. 1455)
Kata Imam Ibn al-Qayyim rahimahullah (Wafat: 751H),
“Sesungguhnya dijadikan menuntut ilmu itu termasuk di jalan Allah, kerana
dengannya akan tertegak agama Islam sebagaimana tertegaknya agama dengan jihad,
maka kukuhnya agama adalah melalui ilmu dan jihad.” (Miftah Daar As-Sa’aadah,
1/271-273)
Menuntut ilmu perlu berlangsung sepanjang hayat dengan
penuh komitmen, kesungguhan, kesabaran, dan konsistensi (istiqomah).
Dilaksanakan dengan methodologi dan fasa yang berperingkat. Dimulakan dari
tahap yang asas kemudian meningkat setingkat demi setingkat kepada yang lebih
dalam dan terperinci.
Keutamaan ilmu tidak terhenti sekadar di dunia. Bahkan
setiap ilmu yang bermanfaat pahalanya akan terus kekal mengalir walaupun
ditinggal mati. Dan dengan ilmu yang benar juga-lah kelak kita akan terselamat
ketika bertemu Allah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ
إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ
يَدْعُو لَهُ
“Apabila manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah
amal-amalnya melainkan tiga perkara, (iaitu) 1 – Sedekah jariyah yang
pernah dilakukannya, 2 – Ilmunya yang dimanfaatkan, atau 3 – Anak yang
soleh yang mendoakannya.” (Shahih Muslim, no. 1631)
Selain dalil ini, terdapat dalil-dalil lain yang
menyebutkan bahawa amalan kebaikan anak-anak yang soleh juga turut mengalirkan
pahalanya kepada ibu dan bapa yang telah meninggal dunia walaupun tidak pernah
diadakan ritual-ritual khas sedekah pahala seperti tahlilan dan majlis yasinan.
Ini adalah kerana anak-anak itu termasuk ke dalam
kategori usaha dan hasil kerja si mati (kedua ibu bapa).
Ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
“Dan bahawasanya seseorang manusia itu tidak mendapat
(pahala) melainkan dari apa yang telah diusahakannya.” (Surah an-Najm, 53: 39)
Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya,
bahawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
إن أطيب ما أكل الرجل من كسبه، وإن ولده من كسبه
“Sesungguhnya sebaik-baik yang dimakan oleh seseorang
itu adalah makanan yang diperolehi dari usahanya sendiri. Sesungguhnya anak itu
termasuk dari hasil usahanya.” (Musnad Ahmad, no. 25845. Dinilai hasan oleh
Syu’aib al-Arnauth)
Jadi, manfaatkanlah umur yang ada untuk menyuburkan
budaya ilmu dan mendidik anak-anak dengannya. Kerana dengan membudayakan ilmu
yang bermanfaat, ia membantu meraih keredhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala
sekaligus jalan menuju Syurga yang kekal abadi.
Mendidik diri, keluarga, dan anak-anak untuk
bercita-cita mati di jalan Allah tidaklah semudah memahatkan cita-cita untuk
mati di dalam rumah besar mahupun kereta besar. Maka, sungguh-sungguhlah kita
untuk bersama-sama membudayakan ilmu yang syar’i dalam kehidupan kita.
Sahabat Nabi, ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma
dinukil berkata:
أَدِّبِ ابْنَكَ، فَإِنَّكَ مَسْئُولٌ عَنْ وَلَدِكَ
مَاذَا عَلَّمْتَهُ، وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ بِرِّكَ وَطَوَاعِيَتِهِ لَكَ
“Didiklah anakmu, kerana sesungguhnya kelak engkau
akan ditanya tentang anakmu, “Apa yang telah engkau ajarkan?” Dan anakmu pula
akan ditanya tentang bakti dan ketaatannya ke atas engkau.” (lihat: Syahus
Sunnah oleh Al-Imam Al-Baghawi, 2/408)
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu berkata:
تعلموا العلم، فإن تعلمه لله خشية، وطلبه عبادة، ومدارسته تسبيح، والبحث
عنه جهاده، وتعليمه لمن لا يعلمه صدقه، وبذله لأهله قربة، وهو الأنيس فى الوحدة،
والصاحب فى الخلوة
“Pelajarilah ilmu, kerana dengan mempelajarinya kerana
Allah merupakan tanda takut terhadap-Nya, mencarinya adalah ibadah, menuntutnya
adalah tasbih, membahaskannya adalah jihad, mengajarkannya kepada yang belum
mengetahui adalah sedekah, usaha memberikannya kepada yang berhak adalah ibadah
yang mendekatkan diri kepada Allah, ilmu adalah teman di saat sendirian dan
rakan dalam kesepian.” (Ibnu Qudamah, Mukhtashar Minhajul Qashidin, m/s. 15 –
Maktabah Daar al-Bayaan)
Dalam sebuah hadis daripada Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ، وَطَالِبُ الْعِلْمِ
يَسْتَغْفِرُ لَهُ كُلُّ شَيْءٍ حَتَّى الْحِيتَانُ فِي الْبَحْرِ
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim, dan para
penuntut ilmu (yang syar’i) itu didoakan keampunan oleh segala sesuatu sampai
ikan-ikan di lautan pun turut mendoakan keampunan untuknya.” (Jaami’ Bayaan
Al-‘Ilmi wa Fadhlihi, no. 13)
Sebagai penutup tajuk ini, penulis tinggalkan pesanan
Imam adz-Dzahabi rahimahullah (Wafat: 748H):
نَسْأَل اللهَ عِلْماً نَافِعاً، تَدْرِي مَا العِلْمُ النَّافِع؟هُوَ مَا
نَزل بِهِ القُرْآنُ، وَفسَّره الرَّسُول – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –
قَوْلاً وَفعلاً، وَلَمْ يَأْت نَهْي عَنْهُ، قَالَ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ
وَالسَّلاَمُ: (مَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي، فَلَيْسَ مِنِّي)، فَعَلَيْك يَا أَخِي
بتدبُّر كِتَاب اللهِ، وَبإِدمَان النَّظَر فِي (الصَّحِيْحَيْنِ) و(سُنَن
النَّسَائِيّ)، وَ(رِيَاض النَّوَاوِي) وَأَذكَاره، تُفْلِحْ وَتُنْجِحْ،
وَإِيَّاكَ وَآرَاءَ عُبَّادِ الفَلاَسِفَة، وَوظَائِفِ أَهْلِ الرِّيَاضَات،
وَجُوعَ الرُّهبَان، وَخِطَابَ طَيْشِ رُؤُوْسِ أَصْحَابِ الخلوَات، فُكُلُّ
الخَيْر فِي مُتَابعَة الحنِيفِيَة السَّمحَة، فَواغوثَاهُ بِاللهِ، اللَّهُمَّ
اهدِنَا إِلَى صرَاطك المُسْتقيم
“Kita memohon kepada Allah ilmu yang bermanfaat.
Tahukah kamu apa ilmu yang bermanfaat tersebut? Iaitu ilmu yang turun bersama
al-Qur’an dan ditafsirkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dengan
ucapan, perbuatan, dan yang tiada larangan darinya. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam bersabda, “Sesiapa yang membenci sunnahku, maka dia tidak
termasuk golonganku.” Wahai saudaraku, kamu perlu mempelajari kitab Allah dan
menekuni dua kitab Sahih (Shahih al-Bukhari dan Muslim), Sunan an-Nasaa’i,
Riyadhus Shalihin, dan al-Adzkar karya Imam an-Nawawi, nescaya kamu akan
beruntung dan selamat. Jauhilah syubhat pemikiran ahli falsafah, perbuatan ahli
sufi, ajaran para pendeta, dan khayalan orang-orang yang suka menyendiri.
Seluruh kebaikan itu adalah dengan mengikuti jalan yang lurus. Mintalah
pertolongan kepada Allah. Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami jalan-Mu yang
lurus.” (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, 19/339-340).
Wallahu a’lam.
Abu Numair Nawawi B. Subandi