KONSEPSI MANAJEMEN KONFLIK DALAM PERSPEKTIF AGAMA ISLAM


Konflik secara sederhana dapat didefinisikan sebagai proses interaksi sosial dimana terdapat dua orang atau lebih, atau dua kelompok atau lebih yang memiliki perbedaan dalam pendapat maupun tujuan mereka dan menimbulkan pertentangan. Perbedaan yang dimaksud disini bisa berupa ciri-ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat-istiadat, keyakinan dan lain sebagainya yang kemudian dibawa dalam suatu interaksi sosial. 

Konflik merupakan sesuatu hal yang wajar dalam kehidupan bermasyarakat dan tidak ada satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik baik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat yang lain. Konflik ini akan hilang jika masyarakat juga hilang. 

Konflik menurut Myers (1993:234) dapat dipahami berdasarkan dua sudut pandang yaitu tradisional dan kontemporer: 

  1. Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu yang buruk yang harus dihindari. Pandangan ini sangat menghindari adanya konflik karena dinilai sebagai faktor penyebab pecahnya suatu kelompok atau organisasi. Bahkan seringkali konflik dikaitkan dengan kemarahan, agresivitas, dan pertentangan baik secara fisik maupun dengan kata-kata kasar yang pada akhirnya justru akan menimbulkan konfik yang lebi besar. 
  2. Pandangan kontemporer mengenai konflik didasarkan pada anggapan bahwa konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai konsekuensi logis interaksi manusia. Namun, yang menjadi persoalan adalah bukan bagaimana meredam konflik, tapi bagaimana menanganinya secara tepat sehingga tidak merusak hubungan antarpribadi bahkan merusak tujuan organisasi. Konflik dianggap sebagai suatu hal yang wajar di dalam organisasi. Konflik bukan dijadikan suatu hal yang destruktif, melainkan harus dijadikan suatu hal konstruktif untuk membangun organisasi tersebut, misalnnya bagaimana cara peningkatan kinerja organisasi. 
Islam juga memiliki pandangan yang sama terhadap konflik.
Meskipun Islam yang notabene lebih mengutamakan perdamaian, sesuai dengan makna kata Islam sendiri yakni “salam”. Namun bukan berarti Islam tidak memberikan makna dan pandangan terhadap konsepsi koflik. Dalam agama Islam pemaknaan konflik bisa dalam bentuk yang lebih ramah dan damai. Dalam Islam konflik tidak harus difahami sebagai gejala yang destruktif, dan kontra-produktif, namun bisa menjadi gejala yang konstruktif bahkan produktif. Konflik merupakan bagian dari tabiat manusia yang telah dibawa oleh manusia dari sejak dia dilahirkan. Keberadaan konflik sebagai unsur pembawaan sangat penting dalam kehidupan manusia. Kehidupan tidak dapat berjalan dengan baik tanpa ada konflik. Manusia yang memiliki tuntutan serta keinginan yang beraneka ragam dan manusia akan selalu berusaha untuk memenuhi keinginan tersebut. Namun untuk bisa mendapatkannya, mereka akan berkompetisi untuk mendapatkan keinginan tersebut. Dari sini maka dengan adanya konflik akan mengajarkan manusia untuk dapat berfikir lebih maju untuk mendapatkan keinginannya tersebut sehingga akan bermanfaat bagi kehidupannya. Oleh karena itu, Allah membekali nilai-nilai moral pada setiap makhluk dalam kepentingan-kepentingannya sendiri. Selagi konflik masih dibutuhkan oleh manusia, maka mereka pun dibekali oleh Allah dengan kemampuan untuk berkonflik, baik dalam fisik, roh maupun akalnya, dan sekaligus kemampuan untuk mencari solusinya. Seperti yang dijelaskan dalam firman Allah yang artinya: “Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini.”. 

Dengan demikian, yang perlu diperhatikan adalah hikmah dibalik terjadinya konflik. Dalam Islam, konflik bukanlah sebagai tujuan namun lebih sebagai sarana untuk memadukan antara berbagai hal yang saling bertentangan untuk membebaskan kehidupan manusia dari kepentingan individual dan dari kejelekan-kejelekan, sehingga tidak membiarkan perbedaan-perbedaan itu menjadi penyebab adanya permusuhan. Karena sesungguhnya manusia berasal dari asal yang sama. Seperti dijelaskan pada (QS. An Nisaa' ayat 1) yang berbunyi: 

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا (١) 

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. 

Dari ayat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya manusia berasal dari asal yang sama. Dari ayat di atas, Islam mengajarkan pentingnya untuk toleransi menghargai adanya perbedaan-perbedaan yang dimiliki manusia baik siri fisik, pemikiran budaya dan lain-lain agar jangan sampai memicu konflik dan mengakibatkan perseteruan dan permusuhan. Konflik memang sangat diperlukan dalam kehidupan manusia. Namun, jangan sampai terlarut dalam konflik yang akhirnya menjadi konflik berkepanjangan yang tidak ada solusinya yang justru akan merusak hubungan antar manusia dan akan merugikan manusia itu sendiri. 

Suran An-Nisaa’ diatas merupakan penetapan nilai persaudaraan yang dimaksudkan sebagai pedoman hubungan antar kelompok manusia yang disebut Al Qur’an diatas. Nilai ini harus menjadi landasan masalah multikulturisme, multiagama, multibahasa, multibangsa dan pluralisme secara umum, karena Al-Qur’an menganggap perbedaan ras, suku, budaya dan agama sebagai masalah alami (ketentuan Tuhan). Justru itu, perbedaan tadi tidak boleh dijadikan ukuran kemuliaan dan harga diri, tapi ukuran manusia terbaik adalah ketaqwaan dan kesalehan sosial yang dilakukannya. Ini yang dimaksud firman Tuhan dalam al-Hujurat ayat 13 sbb: 

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (١٣) 

Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. 

Persamaan adalah prinsip mutlak dalam Islam dalam membina hubungan sesama manusia tanpa melihat perbedaan seperti ditegaskan Rasulullah SAW dalam hadits yang diriwayatkan Anas bin Malik: 

" الناس مستوون كاسنان المشط ليس لاحد على أحد فضل الا بتقوى الله" 

(Asal usul) Manusia adalah sama, tidak obahnya seperti gigi. Kelebihan seseorang hanya terletak pada ketaqwaannya kepada Allah SWT”. 

Di dalam agama Islam juga dijelaskan tentang tata cara mengelola suatu konflik agar konflik tidak bersifat destruktif melainkan menjadi hal yang dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Agama Islam mengajarkan bagaimana mengelola atau menyelesaikan perbedaan atau pertentangan dengan cara-cara damai. Meskipun agama Islam merupakan agama yang notabene menganut ajaran kebenaran mutlak, namun agama Islam tidak pernah mentolerir penggunaan kekerasan dalam ajarannya. Sebenarnya konsep resolusi konflik dalam Islam cenderung memiliki kesamaan dengan manajemen konflik secara umum. Dalam Islam resolusi konflik dapat dilakukan dengan beberapa cara misalnya debat dan musyawarah. 

Debat pada dasarnya adalah salah satu cara berkompetisi dengan pihak atau kelompok lain. Dalam Al-Qur’an, debat sering merujuk pada upaya kompetisi yang dilakukan kaum muslim dengan kaum non muslim. Debat sering digunakan oleh Nabi Allah untuk menanggapi segala tuduhan terhadap agama Islam sekaligus meyakinkan pihak lain tentang kebenaran agama Islam. Di dalam Al-Qur’an juga di jelaskan bahwa berdebat harus dilakukan dengan adil dan fair yang tercantum pada surat An-Nahl ayat 125 sebagai berikut: 



ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (١٢٥) 

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. 

Selain debat, resolusi konflik dalam Islam juga dilakukan dengan musyawarah. Dalam Al-Qur’an musyawarah sering merujuk pada penyelesaian konflik dan hubungan sesama kaum muslim, berbeda dengan debat yang cenderung ditujukan untuk kaum non-muslim. Tujuan musyawarah ini adalah untuk menemukan jalan keluar dari perbedaan yang tidak menyangkut gejala “idiologis” dan dikhotomik sehingga memungkinkan terbentuknya kompromi dan negosiasi. Sedangkan perdebatan lebih menunjukkan sebagai upaya untuk meyakinkan fihak lain, dan tidak mungkin terjadi kompromi, dan yang mungkin hanya sebatas memahami saja, bukan untuk saling membenarkan satu sama lain. Perihal musyawarah ini telah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 159 yang berbunyi sebagai berikut: 

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (١٥٩) 

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. 

Dari beberapa penjelasan diatas dapat dipahami bahwa Islam banyak menggunakan cara-cara damai sebagai cara untuk mengelola konflik. Islam menganjurkan kepada pemeluknya untuk memiliki sikap toleransi terhadap perbedaan perbedaan yang dimiliki tiap-tiap manusia. Karena perbedaan itu merupakan kodrat Allah SWT yang tidak bisa ditolak. Perbedaan itu diciptakan untuk saling melengkapi, dan dengan perbedaan itu manusia akan terus berkembang dan menciptakan perubahan-perubahan yang nantinya akan bermanfaat bagi manusia pada umumnya.

Manisnya Buah Menjaga Lisan

Lisan merupakan salah satu nikmat Allah yang diberikan kepada kita. Lisan merupakan anggota badan manusia yang cukup kecil jika dibandingkan anggota badan yang lain. Akan tetapi, ia dapat menyebabkan pemiliknya ditetapkan sebagai penduduk surga atau bahkan dapat menyebabkan pemiliknya dilemparkan ke dalam api neraka.
Oleh karena itu, sudah sepantasnya setiap muslim memperhatikan apa yang dikatakan oleh lisannya, karena bisa jadi seseorang menganggap suatu perkataan hanyalah kata-kata yang ringan dan sepele namun ternyata hal itu merupakan sesuatu yang mendatangkan murka Allah Ta’ala. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
إن العبد ليتكلم بالكلمة من رضوان الله , لا يلقي لها بالا , يرفعه الله بها درجات , و إن العبد ليتكلم بالكلمة من سخط الله , لا يلقي لها بالا يهوي بها في جهنم
Sungguh seorang hamba mengucapkan satu kalimat yang mendatangkan keridhoan Allah, namun dia menganggapnya ringan, karena sebab perkataan tersebut Allah meninggikan derajatnya. Dan sungguh seorang hamba mengucapkan satu kalimat yang mendatangkan kemurkaan Allah, namun dia menganggapnya ringan, dan karena sebab perkataan tersebut dia dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Wajibnya Menjaga Lisan
Allah Ta’ala berfirman:
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra: 36)
Qotadah menjelaskan ayat di atas, “Janganlah kamu katakan ‘Aku melihat’ padahal kamu tidak melihat, jangan pula katakan ‘Aku mendengar’ sedang kamu tidak mendengar, dan jangan katakan ‘Aku tahu’ sedang kamu tidak mengetahui, karena sesungguhnya Allah akan meminta pertanggung-jawaban atas semua hal tersebut.”
Ibnu katsir menjelaskan makna ayat di atas adalah sebagai larangan untuk berkata-kata tanpa ilmu. (Tafsir Ibnu Katsir)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka katakanlah perkataan yang baik atau jika tidak maka diamlah.”(Muttafaqun ‘alaihi)
Imam Asy-Syafi’i menjelaskan makna hadits di atas adalah, “Jika engkau hendak berkata maka berfikirlah terlebih dahulu, jika yang nampak adalah kebaikan maka ucapkanlah perkataan tersebut, namun jika yang nampak adalah keburukan atau bahkan engkau ragu-ragu maka tahanlah dirimu (dari mengucapkan perkataan tersebut).” (Asy-Syarhul Kabir ‘alal Arba’in An-Nawawiyyah)
Ciri Muslim yang Baik
Termasuk tanda baiknya keislaman seseorang adalah dia mampu meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya.
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ
“Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya.”
Oleh karena itu, termasuk di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah ia menjaga lisannya dan meninggalkan perkataan-perkataan yang tidak mendatangkan manfaat bagi dirinya atau bahkan perkataan yang dapat mendatangkan bahaya bagi dirinya.
Bahaya Tidak Menjaga Lisan
Salah satu bahaya tidak menjaga lisan adalah menyebabkan pelakunya dimasukkan ke dalam api neraka meskipun itu hanyalah perkataan yang dianggap sepele oleh pelakunya. Sebagaimana hal ini banyak dijelaskan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam salah satunya adalah hadits yang telah disebutkan di atas.
Atau dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ketika beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang amalan yang dapat memasukkannya ke dalam surga dan menjauhkannya dari neraka, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang rukun iman dan beberapa pintu-pintu kebaikan, kemudian berkata kepadanya: “Maukah kujelaskan kepadamu tentang hal yang menjaga itu semua?” kemudian beliau memegang lisannya dan berkata: “Jagalah ini” maka aku (Mu’adz) tanyakan: “Wahai Nabi Allah, apakah kita akan disiksa dengan sebab perkataan kita?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Semoga ibumu kehilanganmu! (sebuah ungkapan agar perkataan selanjutnya diperhatikan). Tidaklah manusia tersungkur di neraka di atas wajah mereka atau di atas hidung mereka melainkan dengan sebab lisan mereka.” (HR. At-Tirmidzi)
Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata mengenai makna hadits di atas, “Secara dzahir hadits Mu’adz tersebut menunjukkan bahwa perkara yang paling banyak menyebabkan seseorang masuk neraka adalah karena sebab perkataan yang keluar dari lisan mereka. Termasuk maksiat dalam hal perkataan adalah perkataan yang mengandung kesyirikan, dan syirik itu sendiri merupakan dosa yang paling besar di sisi Allah Ta’ala. Termasuk maksiat lisan pula, seseorang berkata tentang Allah tanpa dasar ilmu, ini merupakan perkara yang mendekati dosa syirik. Termasuk di dalamnya pula persaksian palsu, sihir, menuduh berzina (terhadap wanita baik-baik) dan hal-hal lain yang merupakan bagian dari dosa besar maupun dosa kecil seperti perkataan dusta, ghibah dan namimah. Dan segala bentuk perbuatan maksiat pada umumnya tidaklah lepas dari perkataan-perkataan yang mengantarkan pada terwujudnya (perbuatan maksiat tersebut). (Jami’ul Ulum wal Hikaam)
Buah menjaga lisan
Buah menjaga lisan adalah surga. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من يضمن لي ما بين لحييه وما بين رجليه أضمن له الجنة
Barangsiapa yang mampu menjamin untukku apa yang ada di antara kedua rahangnya (lisan) dan apa yang ada di antara kedua kakinya (kemaluan) aku akan menjamin baginya surga.” (HR. Bukhari)
Oleh karena itu wajib bagi setiap muslim untuk menjaga lisan dan kemaluannya dari perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah, dalam rangka untuk mencari keridhaan-Nya dan mengharap balasan berupa pahala dari-Nya. Semua ini adalah perkara yang mudah bagi orang-orang yang dimudahkan oleh Allah Ta’ala. (Kitaabul Adab)
Penutup
Ketika kita telah mengetahui bahaya yang timbul akibat tidak menjaga lisan, dan kita pun telah mengetahui bagaimana manisnya buah menjaga lisan, sudah sepantasnya kita selalu berfikir sebelum kita mengucapkan suatu perkataan. Apakah kiranya perkataan tersebut akan mendatangkan keridhaan Allah Ta’ala atau bahkan sebaliknya ia akan mendatangkan kemurkaan Allah Ta’ala. Cukuplah kita selalu mengingat firman Allah Ta’ala (artinya):
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Tiada suatu ucapan yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaaf: 18).
Juga firman Allah Ta’ala (artinya):
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra: 36)
Semoga Allah Ta’ala senantiasa meluruskan lisan-lisan kita, memperbaiki amalan-amalan kita dan memberikan kita taufik untuk mengamalkan perkara yang Dia cinta dan Dia ridhai.
***
Muslimah.Or.Id
Penulis: Ummu Zaid Wakhidatul Latifah
Murajaah: Ustadz Ammi Nur Baits
Referensi:
  • Asy-Syarhul Kabir ‘alal Arba’in An-Nawawiyyah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin dll, Maktabah Al Islamiyyah, Kairo
  • Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, Imam Ibnu Rajab Al Hambali, Muassasah Ar-Risalah, Beirut
  • Kitabul Adab, Fuad bin ‘Abdul aziz Asy-Syalhub, Daarul Qasim, Riyadh
  • Nashihatii lin-Nisaa’, Ummu Abdillah Al Wadi’iyyah, Daarul Atsar, Shan’a
  • Tafsir Ibnu Katsir, Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir Al Qurosyi, Daaruth Thoyyibah (Maktabah Syamilah)
  • Wujuubu Hifdhul-lisaan, Abu Ibrahim Muhammad bin Abdul Wahhab Al Washobi (www.ajurry.com)
By muslimah.or.id

KATA BIJAK ISLAMI TENTANG KEHIDUPAN DARI PARA KHALIFAH

Kata Bijak Islami tentang Kehidupan kali ini adalah yang disampaikan oleh para Khalifah setelah Rasusullah SAW. Sebelumnya Paijo Plompong sudah pernah posting tentang Kata Bijak Dari Rasulullah SAW Tentang Kehidupan. Khalifah adalah generasi penerus pemimpin umat islam setelah wafatnya Nabi SAW, mereka adalah hamba yang selalu dekat dengan Nabi SAW dan terus menerus menimba ilmu dari secara langsung dari Rasulullah yang kemudian secara estafet menjaga dan meneruskan dakwah kepada umat muslim dengan berpedoman pada Al Qur’an dan Hadits. Perjalan dakwah terus dilakukan oleh generasi berikutnya hingga sampai pada Ulama sekarang ini.


Kata Bijak Islami Tentan Kehidupan


Dalam melakukan dakwah ternyata didalamnya juga sering terucap berbagai kata bijak kehidupan sebagai kalimat yang mudah dicerna dan dimaknai oleh umat. Hal ini ternyata cukup membantu dalam berdakwah, ini terbukti berbagai kata bijak dari Para Khalifah masih terus terngiang dari generasi ke generasi bahkan sampai sekarang ini. Berikut ini adalah beberapa kumpulan Kata Bijak Islami tentang Kehidupan dari Para Khalifah

Kata Bijak Islam tentang Kehidupan dari Khalifah Abu Bakar As Shidiq


  • Dia berkata kepada para sahabat,”Sesungguhnya aku telah mengatur urusan kamu, tetapi aku bukanlah org yg paling baik di kalangan kamu maka berilah pertolongan kepadaku. Kalau aku bertindak lurus maka ikutilah aku tetapi kalau aku menyeleweng maka betulkan aku!” (Abu Bakar As Shidiq)
  • Sesungguhnya seorang hamba itu bila merasa ujub kerana suatu perhiasan dunia, niscaya Allah akan murka kepadanya hingga dia melepaskan perhiasan itu. (Abu Bakar As Shidiq)
  • Semoga aku menjadi pohon yang ditebang kemudian digunakan. (Abu Bakar As Shidiq)
  • Sesungguhnya seorang hamba itu bila merasa ujub kerana suatu perhiasan dunia, niscaya Allah akan murka kepadanya hingga dia melepaskan perhiasan itu. (Abu Bakar As Shidiq)
  • Orang yang bakhil itu tidak akan terlepas daripada salah satu daripada 4 sifat yang membinasakan yaitu : Ia akan mati dan hartanya akan diambil oleh warisnya, lalu dibelanjakan bukan pada tempatnya atau; hartanya akan diambil secara paksa oleh penguasa yang zalim atau; hartanya menjadi rebutan orang-orang jahat dan akan dipergunakan untuk kejahatan pula atau; adakalanya harta itu akan dicuri dan dipergunakan secara berfoya-foya pada jalan yang tidak berguna. (Abu Bakar As Shidiq)


Kata Bijak Islam tentang Kehidupan dari Khalifah Umar Bin Khattab


  • Barangsiapa takut kepada Allah SWT nescaya tidak akan dapat dilihat kemarahannya. Dan barangsiapa takut pada Allah, tidak sia-sia apa yang dia kehendaki. (Umar Bin Khattab)
  • Aku mengamati semua sahabat, dan tidak menemukan sahabat yang lebih baik daripada menjaga lidah.Saya memikirkan tentang semua pakaian, tetapi tidak menemukan pakaian yang lebih baik daripada takwa. Aku merenungkan tentang segala jenis amal baik, namun tidak mendapatkan yang lebih baik daripada memberi nasihat baik. Aku mencari segala bentuk rezki, tapi tidak menemukan rezki yang lebih baik daripada sabar. (Umar Bin Khattab)
  • Orang yang banyak ketawa itu kurang wibawanya. Orang yang suka menghina orang lain, dia juga akan dihina. Orang yang mencintai akhirat, dunia pasti menyertainya.
  • Barangsiapa menjaga kehormatan orang lain, pasti kehormatan dirinya akan terjaga. (Umar Bin Khattab)
  • Barangsiapa takut kepada Allah SWT nescaya tidak akan dapat dilihat kemarahannya. Dan barangsiapa takut pada Allah, tidak sia-sia apa yang dia kehendaki. (Umar Bin Khattab)
  • Jika tidak karena takut dihisab, sesungguhnya aku akan perintahkan membawa seekor kambing, kemudian dipanggang untuk kami di depan pembakar roti. (Umar Bin Khattab)
  • Wahai Tuhan, janganlah Engkau jadikan kebinasaan umat Muhammad SAW di atas tanganku. Wahai Tuhanku, umurku telah lanjut dan kekuatanku telah lemah. Maka genggamkan (matikan) aku untukMu bukan untuk manusia. (Umar Bin Khattab)


Kata Bijak Islam tentang Kehidupan dari Khalifah Utsman bin Affan


  • Tanda-tanda orang bijaksana antara lain adalah lidahnya selalu basah dengan dzikrullah. (Utsman bin Affan) 
  • Antara tanda-tanda orang yang bijaksana itu ialah :
  • Hatinya selalu berniat suci. Lidahnya selalu basah dengan zikrullah.
  •  Kedua matanya menangis kerana penyesalan (terhadap dosa).
  • Segala perkara dihadapinya dengan sabar dan tabah.
  • Mengutamakan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia. (Utsman bin Affan)


Beberapa Kata Bijak Islami dari Khalifah Ali Bin Abi Thalib


  • Ketahuilah bahwa sabar, jika dipandang dalam permasalahan seseorang adalah ibarat kepala dari suatu tubuh. Jika kepalanya hilang maka keseluruhan tubuh itu akan membusuk. Sama halnya, jika kesabaran hilang, maka seluruh permasalahan akan rusak.  (Ali Bin Abi Thalib)
  • Takutlah kamu akan perbuatan dosa di saat sendirian, di saat inilah saksimu adalah juga hakimmu. (Ali Bin Abi Thalib)
  • Tiada sholat yang sempurna tanpa jiwa yang khusyu’.
  • Tiada puasa yang sempurna tanpa mencegah diri daripada perbuatan yang sia-sia.
  • Tiada kebaikan bagi pembaca al-Qur’an tanpa mengambil pangajaran daripadanya.
  • Tiada kebaikan bagi orang yang berilmu tanpa memiliki sifat wara’.
  • Tiada kebaikan mengambil teman tanpa saling sayang-menyayangi. (Ali Bin Abi Thalib)
  • Tidak ada kebaikan ibadah yang tidak ada ilmunya dan tidak ada kebaikan ilmu yang tidak difahami dan tidak ada kebaikan bacaan kalau tidak ada perhatian untuknya. (Ali Bin Abi Thalib)
  • Orang yang tidak menguasai matanya, hatinya tidak ada harganya. (Ali Bin Abi Thalib)
  • Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta terhukum. Harta itu kurang apabila dibelanjakan tapi ilmu bertambah bila dibelanjakan. (Ali Bin Abi Thalib)
  • Nilai seseorang sesuai dengan kadar tekadnya, ketulusannya sesuai dengan kadar kemanusiaannya, keberaniannya sesuai dengan kadar penolakannya terhadap perbuatan jahat dan kesucian hati nuraninya sesuai dengan kadar kepekaannya terhadap kehormatan dirinya. (Ali Bin Abi Thalib)
  • Cukuplah bila aku merasa mulia karena Engkau sebagai Tuhan bagiku dan cukuplah bila aku bangga bahawa aku menjadi hamba bagiMu. Engkau bagiku sebagaimana yang aku cintai, maka berilah aku taufik. (Ali Bin Abi Thalib)
  • Janganlah seseorang hamba itu mengharap selain kepada Tuhannya dan janganlah dia takut selain kepada dosanya. (Ali Bin Abi Thalib)
  • Hendaklah kamu lebih memperhatikan tentang bagaimana amalan itu diterima daripada banyak beramal, kerana sesungguhnya terlalu sedikit amalan yang disertai takwa. (Ali Bin Abi Thalib)
  • Tidak ada kebaikan ibadah yang tidak ada ilmunya dan tidak ada kebaikan ilmu yang tidak difahami dan tidak ada kebaikan bacaan kalau tidak ada perhatian untuknya. (Ali Bin Abi Thalib)

Demikianlah beberapa kata bijak yang disampaikan oleh para Khalifah penerus Rasulullah SAW. Semoga bisa mengobati hati kita dan memberikan pencerahan pada diri kita. Anda juga bisa membaca artikel tentang kata bijak pada posting lain dalam blog ini yang mungkin masih berkaitan dengan Kata Bijak Islami Tentang Kehidupan dari Para Khalifah.

sumber.paijoplompong

Sahabat Sejati dalam Ukhuwah Islami


Seorang teman atau sahabat merupakan orang yang sangat penting dalam mengarungi samudera kehidupan dunia ini. Gelombang kehidupan dunia yang terkadang ganas dan menghancurkan segala sesuatu yang dilalui, akan terasa lebih ringan diarungi dengan hadirnya seorang sahabat. Seorang sahabat yang selalu setia membantu, menasehati, dan membimbing perjalanan hidup ini. Hingga berhasil taklukan ganasnya samudera duniawi.
Berapa banyak orang yang meninggalkan sahabatnya ketika harta telah tiada. Berapa banyak orang meninggalkan sahabatnya ketika cobaan silih berganti menimpa. Berapa banyak orang yang meninggalkan sahabatnya ketika bertaruh nyawa. Berapa banyak pula orang yang merubah posisi sahabat menjadi musuh hanya karena iming-iming dunia. -wal iyadzubillah
Seorang sahabat sejati akan selalu memberikan dukungan nyata, walau mengorbankan harta dan nyawa. Seorang sahabat sejati tidak akan terpengaruh dengan adanya cobaan yang mendera, walaupun cobaan itu menyakiti jiwa dan raga. Seorang sahabat sejati akan selalu menasehati, di saat kita khilaf dan lupa. Merekalah sahabat sejati yang rela berkorban membela agama, dalam keadaan suka dan duka.
Diibaratkan sebuah bangunan yang saling menguatkan satu dengan yang lain. Diibaratkan pula bagai satu tubuh yang akan merasakan sakit jika tubuh yang lain tersakiti, itulah arti sahabat sejati dalam ukhuwah islami. Jika sahabat itu adalah tangan, maka tangan itu akan menggunakan segala kemampuan untuk melindungi anggota tubuh yang lain, walaupun darah tertumpah menjadi taruhan.
“Seorang mukmin terhadap mukmin yang lainnya seperti bangunan yang saling mengokohkan satu dengan yang lain.” (HR. Bukhari – Muslim).
“Perumpamaan mukmin dalam hal saling mencintai dan berkasih sayang adalah ibarat satu satu tubuh, apabila satu organnya merasa sakit, maka seluruh tubuhnya turut merasakan hal yang sama, sulit tidur dan merasakan demam.” (HR. Muslim).
Seorang sahabat sejati mengerti adab dalam sebuah ukhuwah yang islami. Tidak mencela, tidak memanggil dengan gelar yang buruk, tidak berprasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan, dan tidak pula menggunjing kejelekan orang. Dia tidaklah mencintai sahabatnya kecuali dia mencintainya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.
“Tidak beriman seseorang dari kalian hingga dia mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari-Muslim).
“….Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (pangilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada diantara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.” (QS. al-Hujuraat: 11-12).
Seorang sahabat sejati tidak akan mengumbar kejelekan sahabatnya. Dia akan selalu menjaga dan menutup rapat aib-aibnya. Karena dia tahu, surga adalah balasan yang tepat atas perbuatannya.
“Tidaklah seseorang melihat aib saudaranya lalu dia menutupinya, kecuali dia akan masuk surga.” (HR. Thabrani).
Seorang sahabat sejati juga tidak akan segan untuk melepas tali persahabatan. Ketika mengetahui sahabatnya telah pergi, jauh menyimpang dan tidak lagi mendengar peringatan Ilahi (Al qur’an dan Assunnah). Sebagaimana seorang sahabat senior Rasulullah Abdurohman bin Auf rodhiyallahu anhu yang bertempur saling mengalahkan melawan umayyah bin kholaf dalam perang badar, hingga akhirnya umayyah tewas di tangan Bilal yang tidak lain adalah mantan budaknya sendiri. Padahal mereka berdua adalah dua orang yang bersahabat sebelum Islam datang. Itulah generasi para sahabat, sebuah generasi yang disabdakan oleh Nabi Muhammad sebagai generasi terbaik di muka bumi.
“kemanakah ku pergi mencari… Duhai sahabat sejati
Arungi samudera duniawi… Dengan bahtera ukhuwah islami”
Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkan hati kami di atas agama-Mu. Wahai Dzat yang mengarahkan hati, arahkanlah hati-hati kami untuk taat kepadamu. Wallahu A’lam

sumber. sholatusalam.com