Powered by Blogger.

Blog Archive

Bibit Buah Manggis "SAMBUNG"

Hidup bagai sebuah pintu



                Kata Kata Mutiara Cinta Islami Terbaru 2015 
Betapa beruntungnya kita dilahirkan dari rahim seorang muslimah. Menjadi mukmin dan mukminah. Nikmat mana lagi yang dapat kita dustakan dari-Nya dengan diberikan nikmat keimanan dan keislaman?! Segala puji bagi ALLAH yang telah memerintahkan hamba-NYA untuk bertakwa kepada-NYA. Menjanjikan surga bagi yang takut, mengharap dan bertakwa kepada-NYA. Dan yang telah mengancam dengan siksa neraka bagi orang yang berbuat dosa dan maksiat kepada-NYA. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi terbaik dan tersuci, Nabi Muhammad shallallaahu ‘alayhi wasallam, yang telah bersabda “Sesungguhnya semua hati bani Adam itu berada diantara dua jari Yang Maha Pengasih (ALLAH), bagaikan sebuah hati yang Dia alihkan sekehendak-NYA.” Kemudian beliau shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda, “Wahai Pengalih hati, alihkanlah hati kami kepada keaatan pada-MU.” (HR. Muslim).
Baik belum tentu benar dan benar sudah tentu baik. Sepatutnya kita meyakini dengan keteguhan hati bahwa agama itu bukan dilihat dari baik atau tidaknya akan tetapi dari benar atau tidaknya, “innaddiina ‘indallaahil islaam” (QS.Ali ‘Imran:19). Islam bukan sekedar agama, namun ia adalah ‘Cara Hidup Kita’. Segala perkara sejak kita bangun hingga tidur kembali sudah diatur sedemikian detailnya di dalam Islam, bahkan hal sekecil apapun itu, seperti memakai sandal atau memotong kuku, ALLAH telah memberitahu kepada kita melalui seorang Rasul, teladan kita, Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam.

ISLAM is not just “an ordinary religion”
because,, Islam is MORE THAN THAT!!
Islam is the ultimate way of life..
Islam is the truth..
The ultimate truth
from the ultimate Creator of this universe..
There is no doubt about it!
.:. Al-Islamu ya’luu wa laa yu’laa ‘alaihi ~ ISLAM itu tinggi dan tiada yang tinggi selainnya .:.
‘Abdullah ibn Mas’ud, “Bercukup-cukup dengan sunnah jauh lebih indah daripada berpayah-payah dengan bid’ah.”
Dalam mengarungi kehidupan, kita butuh sebuah petunjuk, pegangan, peta, sebab kita hidup di dunia ini bagai seorang musafir. Kita akan tersesat jika bepergian tanpa sebuah petunjuk atau mungkin jika kita terus berjalan, kita hanya akan berputar-putar tak tentu arah dan tujuan. Dipaksa memikirkan ulang misi hidup. “Dari mana bermula dan ke mana akhirnya akan bermuara?!”#Rantau1Muara sembari tadabbur Qur’ān [51:56]

 











Hidup bagai sebuah pintu, kita membukanya untuk pergi lalu membukanya kembali untuk pulang, namun tak ada yang tahu apa yang terjadi diantara jedanya. Semoga yang ada hanyalah kebaikan. Lalu, sudah siapkah kita? Siap untuk sebuah kepergian… kepulangan… perjalanan… sebuah perjalanan yang berat. Suatu perjalanan yang kita memohon kepada ALLAH agar tujuan akhirnya adalah surga, bukan neraka! ^^ wah.. kok jadi serem yah?? Hehe.. tapi semoga dapat diambil hikmah dan manfaat dari tulisan sederhana ini. Suatu hari Hasan Al-Bashri ditanya, “Apa yang harus kami lakukan? Kami senantiasa bergaul dengan kaum yang menakut-nakuti kami, hingga hati kami selalu khawatir?” Ia menjawab, “Demi ALLAH, jika engkau berkawan dengan kaum yang selalu menakut-nakutimu hingga engkau mendapati rasa aman jauh lebih baik, daripada mempergauli kaum yang selalu menentramkanmu hingga engkau mendapati rasa takut.” Berteman dan bergaullah dengan suatu kaum yang terbaik, hindarilah yang hina karena kehinaannya membuatmu hina.
Segala permasalahan dalam hidup telah dijelaskan di dalamnya. ALLAH telah menjadikn ISLAM sebagai “solusi terbaik” bagi setiap masalah yang dihadapi manusia, dan menjadikan AL-QUR’AN sebagai “obat penyembuh” disetiap hati yang sakit dan pikiran yang kacau. Ya, ALLAH memberikan kita Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai petunjuk dalam mengarungi kehidupan ini. Teringat kata mutiara islam, ungkapanindah dari Ibnul Qayyim : “Jangan melihat kehidupan ini kecuali dengan ALLAH!! karena ALLAH adalah sumber kebahagiaan hidup.”



 


 

Kata Kata Mutiara Cinta Islami Terbaru 2015
Seorang muslim dan muslimah tidak akan meminati apapun kecuali hanya menginginkan ridha ALLAH. Sebab segala sesuatu selain ALLAH adalah bathil! Para ulama memberikan kata mutiara penyejuk hati tentang ridha.
Daud at Tho’I berkata : “Sebaik-baik amal adalah ridha kepada ALLAH.”
Bisyr bin Haris berkata : “Barangsiapa yang dikaruniai sifat ridha sungguh dia telah menggapai derajat yang tertinggi.”
Ar Robi’ bin Abi Rosyid berkata : “Barangsiapa yang memohon ridha maka dia telah memohon perkara yang agung.”
Ajarilah aku tentang IMAN?! “Engkau beriman kepada ALLAH, para malaikat-NYA, kitab-kitab-NYA, rasul-rasul-NYA, dan hari akhir. Begitu juga engkau beriman kepada taqdir yang baik ataupun yang buruk.” (HR. Muslim)
Ajarilah aku tentang IHSAN?! “Engkau beribadah kepada ALLAH seolah-olah engkau melihat-NYA, seandainya engkau tidak bisa maka ALLAH yang melihatmu.” (HR. Muslim)





Salah satu ucapan dari murid abu hanifah yaitu daud ath tha’i
“Itulah yang diperbuat keimanan. Membuka mata dan hati. Menumbuhkan kepekaan. Menyirami kejelitaan, keserasian, dan kesempurnaan… Iman adalah persepsi baru terhadap alam, apresiasi baru terhadap keindahan, dan kehidupan di muka bumi, di atas pentas ciptaan ALLAH, sepanjang malam dan siang…” (Sayyid Quthb)
Nasihat itu melekat, ketika kami duduk melingkar di mushollah mendengarkan beliau. Katanya, “Kejarlah akhirat tapi jangan lupakan duniamu, dek! Bukan.., kejarlah duniamu tapi jangan lupakan akhiratmu!” Kalimat itu menguapkan kembali maknanya ketika hati dan iman-iman kami menjadi ‘futhur’ akibat tersibukkan perkara dunia atau bahkan kesia-siaan. Menguatkan langkah-langkah kami untuk menapaki jalan yang sudah seharusnya dijejaki di muka bumi ini, sebagai seorang hamba. Akhirat utama, dunia tak lupa. Ber-zuhudlah dengan dunia! Sebab hidup di dunia ini penuh kehinaan untuk sekedar kita tangisidan begitu sangat murah untuk sekedar menjadi ambisi. Mengapa terus sibuk dengan perkara dunia, padahal ia bahkan tidak lebih berharga dari selembar sayap nyamuk?
“Dunia itu seperti bayangan, kejarlah tapi engkau tidak akan dapat menangkapnya. Namun, jika engkau berpaling dan menjauh darinya, maka tidak ada pilihan baginya selain mengikutimu.” (Ibnu Qayyim Al- Jawziyyah)
“Semua itu mengungkapkan kebingungan mematikan, yang tiada ketenangan dan kedamaian di dalamnya. Mengungkapkan keadaan jenuh yang telah mencapai titik terrendah… Dijadikan dunia ini indah bagi mereka, lalu mereka berhenti pada batasnya, terantuk, tak mampu melampauinya, tak kuasa menembusnya.” (Sayyid Quthb)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda “Bukanlah KEKAYAAN itu dari banyaknya harta, akan tetapi kekayaan itu adalah RASA CUKUP DALAM HATI.” (HR.Bukhari no.6446 dan Muslim no.1051 dari Abu Hurairah)
Seseorang yang QONA’AH itu kaya, meski sebenarnya berkekurangan, namun jika ia TIDAK QONA’AH maka ia menjadi fakir, meski sebanarnya berkelebihan

 
Perhitungan amal di dunia dan di akhirat
“…Itulah mereka sedang menyusuli aku. Dan aku bersegera kepada-MU ya Rabbi, agar Engkau ridha kepadaku.” (QS. Thaaha: 84)
“Dua hal yang kusesali. Hari-hari yang panas tanpa kesejukan puasa. Malam-malam yang dingin tanpa kehangatan shalat.” (‘Abdullah ibn ‘Umar, Radhiyallahu ‘Anhu)
Layaknya Khalid bin Walid, jangan melihat seseorang dari masa lalunya, karena seseorang yang pernah berperang melawan agama ALLAH pun akhirnya dapat menjadi pedangnya ALLAH.
“Anugerah terbesar bagi mereka yang MENDAPATI MASALAH adalah mereka MENDAPATI ALLAH..”
#m’tadabburi QS.al-‘Ankabut:2
Kata mutiara Islam ini saya tutup dengan do’a dari seorang yang memiliki pribadi tak kenal keluh, Ibu dari 13 Huffadz Qur’an, ibunda (almh.) Yoyoh Yusroh Allahu Yarham :
“Ya Rabb, aku Sedang Memikirkan Posisiku Kelak di Akhirat??
Mungkinkah Aku Berdampingan dengan Penghulu Para Wanita?
Khadijah Al Kubro yang Berjuang dengan Harta dan Jiwanya?
Atau Dengan Hafsah binti Abi Bakr yang di Bela oleh Alloh Saat akan Dicerai Karena Showwamah dan Qowwamahnya?
Atau Dengan Aisyah yang Telah Hafal 3500-an Hadits, Sedang Aku….?
Atau Dengan Ummu Sulaim yang Shobiroh?
atau Dengan Asma yang Mengurus Kendaraan Suaminya dan Mencela Putranya Saat Istirahat Dari Jihad?
atau Dengan Siapa ya, Ya Allah?
Tolong Beri Kekuatan Tuk Mengejar Amaliah Mereka…
Sehingga Aku Layak Bertemu Mereka Bahkan Bisa Berbincang dengan Mereka di Taman Firdaus-MU..”
“Hari ini waktunya beramal tanpa perhitungan, sedang di akhirat nanti waktunya perhitungan dan tak ada lagi amal perbuatan.”-‘Ali bin Abi Thalib ra.
Demikianlah kata kata Mutiara cinta islami terbaru 2015 ini ditulis, semoga para pembaca dapat memanfaatkan tulisan ini dalam rangka saling memperingati dan saling mengingatkan antar sesama manusia. Dan dapat dijadikan juga sebagai bahan evaluasi untuk diri sendiri dan keluarga.




TAUBAT NASUHA



Taubat adalah kembalinya seseorang dari perilaku dosa ke perilaku yang baik yang dianjurkan Allah. Taubat nasuha adalah taubat yang betul-betul dilakukan dengan serius atas dosa-dosa besar yang pernah dilakukan di masa lalu. Pelaku taubat nasuha betul-betul menyesali dosa yang telah dilakukannya, tidak lagi ada keinginan untuk mengulangi apalagi berbuat lagi, serta menggantinya dengan amal perbuatan yang baik dalma bentuk ibadah kepada Allah dan amal kebaikan kepada sesama manusia. Dosa ada macam: dosa pada Allah saja dan dosa kepada Allah dan manusia (haqqul adami). Cara tobat karena dosa pada Allah cukup meminta ampun kepada Allah sedang menyangkut kesalahan pada sesama manusia harus meminta maaf langsung kepada orang yang bersangkutan disamping kepada Allah.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiGWFByAQnyIGvrmNAPYyE04qSNiGeuDGdffDJUD8eMvt-_5iW5csw5iPOhRb3Bd-KAMfHzilvAt-qm1vRzKFJiv1vcacNagqgjnlXIjFmkpOzWiEe_awBRnrQCnCD4cxtzWVqO9GVGPXTF/s1600/sujud.jpg

Seorang muslim wajib bertaubat nasuha atas dosa yang dilakukannya.

DAFTAR ISI

DALIL DASAR TAUBAT NASUHA

- QS Al-Maidah : 39

فمن تاب من بعد ظلمه وأصلح فإن الله يتوب عليه , إن الله غفور رحيم

Artinya: Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

- QS Al-An'am : 54
وإذا جاءك الذين يؤمنون بآياتنا فقل سلام عليكم , كتب ربكم على نفسه الرحمة , أنه من عمل منكم سوءا بجهالة ثم تاب من بعده وأصلح فأنه غفور رحيم

Artinya: Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah: "Salaamun alaikum. Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

- QS At-Taubah : 118

وعلى الثلاثة الذين خلفوا حتى إذا ضاقت عليهم الأرض بما رحبت وضاقت عليهم أنفسهم وظنوا أن لا ملجأ من الله إلا إليه ثم تاب عليهم ليتوبوا , إن الله هو التواب الرحيم

Artinya: dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.

QS At-Tahrim :8
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai

QS Al-Baqarah 2:222
إِنَّ اللَّـهَ يُحِبُّ التَّوّٰبِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

Artinya: Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.

QS Ali Imran 3: 133-134
وَسَارِعُوٓا۟ إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِي الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى السَّرَّآءِ وَالضَّرَّآءِ وَالْكٰظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّـهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا۟ فٰحِشَةً أَوْ ظَلَمُوٓا۟ أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا۟ اللَّـهَ فَاسْتَغْفَرُوا۟ لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُالذُّنُوبَ إِلَّااللَّـهُ وَلَمْ يُصِرُّوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلُوا۟ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Artinya: Bersegaralah kepada ampunan dari tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya baik di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampunan terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.

QS An-Nisa' 4:17

إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوَءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِن قَرِيبٍ فَأُوْلَـئِكَ يَتُوبُ اللّهُ عَلَيْهِمْ وَكَانَ اللّهُ عَلِيماً حَكِيماً
Artinya: Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

QS At-Taubat 9:104
أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَأْخُذُ الصَّدَقَاتِ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
Artinya: Tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang?

Hadits diriwayatkan oleh Jamaah (sekelompok perawi hadits):
كلُّ بَني آدمَ خطَّاء، وخيرُ الخطَّائين التوَّابون
Artinya: Setiap anak Adam (cenderung) berbuat kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang salah adalah yang bertaubat.


DEFINISI TAUBAT NASUHA

Taubat Nasuha adalah bertaubat dari dosa yang diperbuat saat ini dan menyesal atas dosa-dosa yang dilakukannya di masa lalu dan berniat sepenuh hati untuk tidak melakukannya lagi di masa medatang. Apabila dosa atau kesalahan tersebut terhadap esama manusia (haqqul adami), maka caranya adalah dengan meminta maaf yang dizalimi selain hal-hal yang disebut.


SYARAT DAN TATA CARA TAUBAT NASUHA

Ada 2 (dua) tipe dosa kesalahan yang dilakukan oleh manusia yaitu dosa kepada Allah dan dosa atau salah kepada sesama manusia (haqqul adami). Rincian tata tacara tobatnya sebagai berikut:


TAUBAT ATAS DOSA KEPADA ALLAH

Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar 2/845 mengatakan bahwa ada 3 (tiga) syarat dalam melaksanakan taubat nasuha atas dosa yang dilakukan kepada Allah:

اعلم أن كل من ارتكب معصية لزمه المبادرة إلى التوبة منها ، والتوبة من حقوق الله تعالى يشترط فيها ثلاثة أشياء : أن يقلع عن المعصية في الحال . وأن يندم على فعلها . وأن يعزم ألا يعود إليها .

Ketahuilah bahwa setiap orang yang melaksanakan dosa maka wajib baginya segera melakukan taubat (nasuha). Adapun taubat dari dosa kepada Allah (haqqullah) ada tiga syarat:
Pertama, berhenti dari perbuatan dosa itu seketika itu juga.
Kedua, menyesali perbuatannya.
Ketiga, berniat tidak mengulangi lagi.

Apabila tidak terpenuhi ketiga syarat di atas, maka tidak sah taubatnya.


TAUBAT DARI DOSA PADA SESAMA MANUSIA (HAQQUL ADAMI)

Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar 2/845 menyatakan cara taubat dari dosa yang bersifat haqqul adami atau pada manusia adalah sebagai berikut:

Pertama, meninggalkan perilaku dosa itu sendiri
Kedua, menyesali perbuatan maksiat yang telah dilakukan.
Ketiga, berniat tidak melakukannya lagi selamanya.
Keempat, membebaskan diri dari hak manusia yang dizalimi dg cara sbb:
(a) Apabila menyangkut harta dengan cara mengembalikan harta tersebut;
(b) Apabila menyangkut non-materi seperti pernah memfitnah, ngerasani (ghibah), dll maka hendaknya meminta maaf kepada yang bersangkutan.

Bertaubat pada sebagian dosa tertentu adalah sah pada dosa tersebut sedang dosa yang lain masih tetap demikian pendapat ahlul haq.

Selain itu, taubat nasuha hendaknya diiringi dengan amal perbuatan yang baik sebagai penebus dosa seperti memperbanyak infaq dan sedekah kepada fakir miskin, yatim piatu atau yayasan sosial Islam seperti masjid dan pesantren serta amal ibadah sunnah yang lain.


HARUSKAH MEMBERI TAHU DAN MENYEBUT JENIS KESALAHAN SAAT MEMINTA MAAF PADA SESAMA MANUSIA?

Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar 2/845 menyebutkan ada dua pendapat di kalangan ulama mazhab Syafi'i sebagai berikut:
فيه وجهان لأصحاب الشافعي رحمهم الله :

أحدهما : يشترط بيانه ، فإن أبرأه من غير بيانه ، لم يصح كما لو أبرأه عن مال مجهول .
والثاني : لا يشترط ، لأن هذا مما يتسامح فيه ، فلا يشترط علمه ، بخلاف المال .

والأول أظهر ، لأن الإنسان قد يسمح بالعفو عن غيبة دون غيبة .

فإن كان صاحب الغيبة ميتاً أو غائباً ، فقد تعذر تحصيل البراءة منها ، لكن قال العلماء : ينبغي أن يكثر الاستغفار له ، والدعاء ، ويكثر من الحسنات .

Artinya: Ada dua pendapat di kalangan ulama mazhab Syafi'i.
Pertama, disyaratkan menyebutkan jenis kesalahan yang dilakukan. Apabila yang dizalimi memaafkan tanpa perlu, maka tidak sah sebagaimana orang membebaskan hutang dari harta yang tidak diketahui.

Kedua, tidak disyaratkan menyebut kesalahannya karena hal ini termasuk dari perkara yang diminta maaf, maka tidak disyaratkan tahunya yang dizalimi, beda halnya dengan harta.

Pendapat pertama adalah lebih jelas karena manusia terkadang memaafkan dari suatu ghibah tapi tidak dari ghibah yang lain.

Apabila orang yang digosipi itu meninggal atau tidak diketahui tempatnya, maka tidak perlu meminta maaf darinya. Akan tetapi ulama berkata: Sebaiknya memperbanyak memintakan maaf buat dia, mendoakannya dan memperbanyak beruat baik.

Ibnu Muflih dalam Al-Adab Al-Syar'iyah 1/92 menyatakan:
"Menurut satu pendapat (yang wajib meminta maaf) apabila orang yang dizalimi itu diketahui keberadaannya, apabila tidak diketahui, maka si penggosip hendaknya mendoakannya, dan meminta pengampunan atasnya. Menurut Syaikh Taqiuddin ini adalah pendapat kebanyakan ulama.

Apabila seseorang bertaubat dari perbuatan gosip (ghibah) atau menuduh zina, apakah disyaratkan memberitahu orang digosipi atau yang dituduh dan meminta maaf? Ada dua pendapat. Menurut Al-Qadhi tidak wajib memberitahu dan meminta maaf (a) berdasarkan sebuah hadis dari riwayat Abu Muhammad Al-Khilal dengan sanad dari Anas bin Malik; (b) dan karena memberitahu orang yang digosipi akan menimbulkan rasa sedih padanya.

Ulama mazhab Hanbali memilih pendapat kedua yakni tidak perlu memberitahu orang yang digosipi dan hendaknya didoakan baik sebagai ganti atas kezaliman yang dilakukan sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah atsar (perkataan Sahabat)."


HUKUM MEMBERI MAAF KESALAHAN ORANG LAIN

Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar 2/845 berkata:

واعلم أنه يستحب لصاحب الغيبة أن يبرئه منها ، ولا يجب عليه ذلك لأنه تبرع وإسقاط حق ، فكان إلى خيرته ، ولكن يستحب له استحباباً متأكداً الإبراء ، ليخلص أخاه المسلم من وبال المعصية ، ويفوز هو بعظيم ثواب الله تعالى ومحبة الله سبحانه وتعالى . انتهى وهو قول الشافعي

Artinya: Ketahuilah bahwa hukumnya sunnah bagi orang yang digosipi (sohibul ghibah) untuk memaafkan kesalahan orang yang menggosipinya. Namun hal itu tidak wajib karena hal itu adalah perbuatan baik yang merupakan hak baginya. Maka hal itu menjadi kebaikannya. Akan tetapi disunnahkan baginya untuk memaafkan kesalahan orang lain dengan sunnah muakkad (sangat dianjurkan) supaya dia dapat menyucikan saudaranya sesama muslim dari perbuatan maksiat. Apabila memaafkan, maka dia akan beruntung mendapatkan pahala besar dan cinta dari Allah. Ini adalah pernyataan Imam Syafi'i.


HUKUM TAUBAT NASUHA

Hukum taubat nasuha adalah wajib berdasarkan pada perintah dalam beberapa ayat Quran di atas seperti dalam QS At-Tahrim :8; Ali Imron :133-134 dan ulama sepakat (ijmak) atas wajibnya seorang muslim bertaubat atas dosa yang dilakukannya.


TANDA TAUBAT YANG DITERIMA

Taubat yang diterima dapat ditandai dengan perubahan perilaku orang yang bertaubat dalam segi meninggalkan perbuatan dosa dan taat menjalankan perintah Allah. Selain itu, ia semakin meningkat ghirah atau spirit Islamnya dengan mendasarkan segala perbuatannya pada pertimbangan syariah Islam.
- See more at: http://www.alkhoirot.net/2012/09/taubat-nasuha.html#sthash.gCaHCMze.dpuf

Menuntut Ilmu Jalan Menuju Syurga






 Ilmu adalah pengetahuan (atau penguasaan maklumat) yang merupakan lawan kepada ketidak-tahuan atau kejahilan. Ilmu secara syar’i adalah ilmu yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang berupa penjelasan dan petunjuk yakni al-Qur’an, as-Sunnah dan kefahaman yang benar terhadapnya. Iaitu ilmu yang membimbing kehidupan di dunia hingga ke akhirat, sampai menuju Syurga Allah.
Kata Imam adz-Dzahabi rahimahullah  (Wafat: 748H):
العلم ليس هو بكثرة الرواية، ولكنه نور يقذفه الله في القلب، وشرطه الاتباع، والفرار من الهوى والابتداع
“Ilmu itu bukanlah dengan banyaknya riwayat, tetapi ia adalah cahaya yang dicampakkan oleh Allah ke dalam hati, dan syaratnya adalah al-ittiba’ (mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam), dan melarikan diri dari hawa nafsu serta menjauhi al-ibtida’ (bid’ah).” (adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, 13/323)
Kata Imam Abu Hatim ar-Razi:
العلم عندنا ما كان عن الله تعالى من كتاب ناطق ناسخ غير منسوخ وما صحت به الأخبار عن رسول الله مما لا معارض له وما جاء عن الألباء من الصحابة ما اتفقوا عليه فإذا اختلفوا لم يخرج من اختلافهم فإذا خفي ذلك ولم يفهم فعن التابعين فإذا لم يوجد عن التابعين فعن أئمة الهدى من أتباعهم
“Ilmu bagi kita adalah apa yang bersumber dari Allah Ta’ala sebagaimana yang ditetapkan melalui kitab-Nya. Khabar yang benar bersumber dari Rasulullah tanpa ada perselisihan. Kemudian keputusan yang datang dari kesepakatan para sahabat jika terdapat perselisihan yang tiada jalan keluar dalam memahami dua sumber tersebut. Kemudian jika tetap ada persoalan yang tidak dapat difahami, maka pergi kepada perkataan para tabi’in. Sekiranya tidak ditemukan dalam perkataan para tabi’in, maka diambil dari para imam yang mendapat petunjuk.” (Ibn al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in, 2/248)
Al-Imam Ibnu Rejab Al-Hanbali rahimahullah (Wafat: 795H) menukilkan:
وقال الجنيد علمنا هذا مقيد بالكتاب والسنة من لم يقرأ القرآن ويكتب الحديث لا يقتدى به في علمنا هذا
“Berkata Al-Junayd (bin Muhammad), “Ilmu kita ini diikat (atau dibatasi) dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, sesiapa yang tidak membaca Al-Qur’an dan tidak menulis (atau mencatat) hadis-hadis Nabi, maka dia tidaklah dapat diikuti (sebagai rujukan) pada ilmu kita ini.”.” (Majmu Rasa’il Ibn Rajab Al-Hanbali, 3/25 – Tahqiq Thal’at bin Fu’ad Al-Hulwani)
Al-Imam Ibnu Rejab Al-Hanbali rahimahullah (Wafat: 795H) mengatakan:
فالعلم النافع من هذه العلوم كلها ضبط نصوص الكتاب والسنة وفهم معانيها والتقيد في ذلك بالمأثور عن الصحابة والتابعين وتابعيهم في معاني القرآن والحديث. وفيما ورد عنهم من الكلام في مسائل الحلال والحرام. والزهد. والرقائق. والمعارف. وغير ذلك والاجتهاد على تمييز صحيحه من سقيمه أولا. ثم الاجتهاد على الوقوف في معانيه وتفهمه ثانياً. وفي ذلك كفاية لمن عقل. وشغل لمن بالعلم النافع عني واشتغل.
“Maka ilmu yang bermanfaat dari seluruh ilmu ini (yakni yang telah beliau sebutkan sebahagian bentuknya di risalah beliau ini – pent.) adalah meneliti teks-teks al-Qur’an dan as-Sunnah, memahami makna-maknanya dan mengikat diri dalam (memahami) sumber tersebut berdasarkan apa yang diriwayatkan dari para sahabat, tabi’in, dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam mengambil makna al-Qur’an dan hadis. Dan pada apa-apa yang datang dari mereka dari ucapan-ucapan mereka tentang permasalahan halal, haram, zuhud, ar-raqaa’iq (melembutkan hati), ilmu pengetahuan, dan yang selainnya. Berikutnya, dia berusaha untuk membezakan antara yang sahih dengan yang tidak sahih sebagai langkah pertama, kemudian berusaha untuk memahaminya sebagai langkah keduanya.
Dan sudah tentu, perkara (atau urusan) tersebut sudah cukup berat lagi menyibukkan bagi orang yang berakal dan bagi sesiapa yang memfokuskan dirinya terhadap ilmu yang bermanfaat!” (Majmu Rasa’il Ibn Rajab Al-Hanbali, 3/26)
Ilmu yang bermanfaat merujuk kepada dua perkara, iaitu ma’rifatullah (mengenal Allah) dan mengetahui apa yang menjadi hak-hak-Nya, mengetahui nama-nama-Nya yang husna (yang baik lagi indah), sifat-sifat-Nya yang maha tinggi, dan perbuatan-Nya yang maha bijaksana.
Dengan ilmu ini dan mengetahuinya, maka akan menjadi sebab kepada pengangungan dan pengabdian hanya kepada-Nya, melahirkan rasa takut hanya pada-Nya, melahirkan rasa cinta (mahabbah) dan pengharapan (rodja’) hanya pada-Nya, sabar (atas musibah), redha (atas ketentuan-Nya), dan tawakkal hanya kepada Allah.
Manakala yang kedua, ilmu yang bermanfaat adalah ilmu (pengetahuan) tentang apa-apa yang dicintai oleh Allah dan apa-apa yang dibenci-Nya. Iaitu dengannya akan dapat membawa kepada segala apa yang diredhai dan dicintai oleh Allah sama ada pada amalan hati, perbuatan, dan lisan (perkataan). Wajib bagi kita untuk segera melaksanakannya hasil pengaruh dari ilmu tersebut.
Ini adalah sebagaimana yang disebut oleh Al-Hafiz Ibnu Rejab al-Hanbali rahimahullah (Wafat: 795H) dalam risalahnya yang berjudul Fadhlu ‘Ilm as-Salaf ‘ala al-Kholaf atau sebagaimana yang tercantum dalam Majmu’ Rasa’il beliau.
Kata Al-Hafiz Ibn Rejab lagi:
فإذا أثمر العلم لصاحبه هذا فهو علم نافع فمتى كان العلم نافعاً ووقر في القلب فقد خشع القلب للَّه وانكسر له. وذل هيبة وإجلالا وخشية ومحبة وتعظيما. ومتى خشع القبل للَّه وذل وانكسر له قنعت النفس بيسير الحلال من الدنيا وشبعت به فأوجب لها ذلك القناعة والزهد في الدنيا. وكل ما هو فان لا يبقى من المال والجاه وفضول العيش الذي ينقص به حظ صاحبه عند اللَه من نعيم الآخرة وإن كان كريماً على اللَه
“Jadi apabila ilmu itu menghasilkan buah untuk dirinya, maka inilah ilmu yang bermanfaat. Maka apabila ilmu itu bermanfaat, dia pun akan masuk ke dalam hati-hati lalu menjadikan hati itu khusyu’ dan tunduk hanya kepada Allah. Ilmu itu menjadikan dirinya merendah terhadap-Nya kerana haibah (wibawa), kemuliaan, khasy-yah (rasa takut), mahabbah (cinta), dan meng-agungkan-Nya. Dan apabila khusyu’ dan tunduk kepada Allah, merasa rendah serta takut hanya kepada-Nya, maka diri seseorang akan diberikan rasa qona’ah (rasa serba cukup di dalam hati), dipermudahkan kepada suatu yang halal dari kelebihan dunia, rasa puas dengannya, disempurnakan qona’ah dengan yang demikian, dan mampu zuhud (meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat) pada dunia dan segala apa yang tidak akan kekal dan apa-apa yang tidak akan kekal dari harta, kedudukan, serta dari kecintaan terhadap hal sia-sia yang boleh mengurangi kedudukannya di sisi Allah dari kenikmatan akhirat walaupun dia memuliakan Allah.” (Majmu Rasa’il Ibn Rajab Al-Hanbali, 3/27)
Beliau juga menegaskan bahawa:
فالعلم النافع ما عرف بين العبد وربه ودل عليه حتى عرف ربه ووحده وأنس به واستحى من قربه. وعبده كأنه يراه.
“Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membawa seorang hamba mengenal Rabb-nya dan menjadi dalil (petunjuk) baginya sampai dia benar-benar mengenal Rabb-nya dan mentauhidkan-Nya, merasa malu kepada-Nya kerana kedekatan-Nya (yakni Allah sentiasa mengawasinya) dan menjadikan dirinya beribadah hanya kepada Allah seakan-akan melihat-Nya.” (Majmu’ Rasa’il Ibn Rajab, 3/28)
Melalui apa yang diambil daripada beliau ini menunjukkan adanya ilmu yang tidak bermanfaat bagi diri seorang hamba iaitu apabila ilmu tersebut tidak menjadikannya takut kepada Allah, tidak menjadikannya bertauhid kepada-Nya, serta tidak juga membawa untuk taat dan taqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebaliknya membawa pula kepada apa yang dibenci oleh Allah. Tidak kiralah ilmu tersebut tergolong dalam ilmu-ilmu yang syar’i lagi wajib atau ilmu-ilmu berbentuk kemahiran kehidupan, sekiranya ia membawa pelakunya kepada apa-apa yang dicintai dan diredhai Allah, maka ia adalah ilmu yang bermanfaat.
Sebaliknya, sekiranya ilmu tersebut walaupun ia adalah ilmu-ilmu yang syar’i tetapi tidak diamalkan seiring keredhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka ia akan termasuk ke dalam jajaran ilmu-ilmu yang tidak bermanfaat. Ia akan menjadi ilmu yang tidak akan mampu 

 ___________________________________________________



Ini dapat difahami antaranya berdasarkan firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka mengabdikan diri hanya kepada-Ku.” (Surah adz-Dzariyat, 51: 56)
Di samping itu, dari hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا، لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sesiapa yang menuntut ilmu yang sepatutnya untuk mencari wajah Allah ‘Azza wa Jalla, tetapi dia tidak menuntutnya melainkan untuk mencari dunia dengannya, maka pada hari kiamat dia tidak akan dapat mencium aroma Syurga.” (Musnad Ahmad, no. 8457. Sunan Abi Dawud, no. 3664. Ibnu Majah, no. 248. Dinilai sahih oleh An-Nawawi, Al-Albani, dan Syu’aib Al-Arnauth)
Dari hadis Ibn Ka’ab bin Malik dari ayahnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ طَلَبَ العِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ العُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ
“Sesiapa yang menuntut ilmu yang tujuannya untuk mendebat para ulama, atau untuk menghujat (atau mempersenda) orang-orang bodoh, atau yang dengannya untuk memalingkan wajah manusia kepadanya; nescaya Allah memasukkannya ke Neraka.” (Sunan At-Tirmidzi, no. 2654)
Sahabat Nabi, Ibnu Mas’oud radhiyallahu ‘anhu berkata:
لا تعلَّموا العِلمَ لثلاثٍ: لِتُماروا به السُّفَهاء، أو لِتُجادِلوا به الفُقهاء، أو لتصرفوا بهِ وُجُوه النَّاس إليكم، وابتغُوا بقولِكُم وفعلِكم ما عندَ اللهِ، فإنَّه يبقَى ويذهبُ ما سواهُ
“Janganlah kalian mempelajari ilmu kerana tiga perkara: (1) dalam rangka menghujat (atau mempersenda) orang-orang bodoh, (2) untuk mendebat para ulama, dan (3) untuk memalingkan wajah-wajah manusia ke arah kalian. Carilah apa yang ada di sisi Allah dengan ucapan dan perbuatan kalian. Kerana sesungguhnya, itulah yang kekal abadi, manakala yang selain itu akan hilang dan pergi.” (Ibnu ‘Abdil Barr, Jaami’ Bayaan Al-‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/176)
Maka atas sebab itulah setiap ilmu yang kita pelajari seharusnya menuju kepada jalan tersebut, iaitu jalan ‘ubudiyyah (penghambaan yang benar) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Iaitu ilmu yang menjadikan kita tunduk, cinta, mengabdi, mengharap, tawakkal, dan takut hanya kepada Allah dengan jalan yang benar.
Apabila kita benar-benar faham bahawa prioriti ilmu yang syar’i lagi bermanfaat adalah ilmu-ilmu yang datang dari al-Qur’an, as-Sunnah, dan kefahaman terhadap keduanya, maka sudah seharusnya kita meletakkan usaha dan keutamaan yang tinggi untuk menekuninya. Itulah yang merupakan tradisi para ulama dan ilmuan Islam dari dahulu hingga kini.
Sahabat Nabi, Jaabir bin ‘Abdillah sanggup melakukan safar yang memakan masa satu bulan perjalanan semata-mata untuk menyemak satu hadis dengan seorang lain sahabat Nabi yang lainnya bernama ‘Abdillah bin Unays radhiyallahu ‘anhuma. (lihat: Shahih Al-Bukhari, Bab: Al-Khuruj fi Thalab Al-‘Ilm)
Kata Al-Imam Yahya bin Abi Katsir, “Aku mendengar ayahku berkata:
لَا يُسْتَطَاعُ الْعِلْمُ بِرَاحَةِ الْجِسْمِ
“Tidak akan didapatkan ilmu itu dengan jasad yang rehat (bersantai-santai).” (Shahih Muslim, no. 612)
Jika kita melihat imam Asy-Syafi’i rahimahullah yang merupakan imam yang kita ikuti mazhabnya sebagai pedoman, beliau hafaz dan menguasai al-Qur’an seawal usianya 9 tahun. Manakala dalam sebahagian riwayat mengatakan 7 tahun. Pada ketika usianya 13 tahun pula, beliau menguasai kitab hadis yang unggul di zamannya, iaitu al-Muwaththa’ karya imam Malik rahimahullah.
Manakala Al-Imam al-Bukhari ketika usia  11 tahun, beliau telah mampu berhujjah dengan gurunya dalam ilmu hadis dan memiliki hafalan hadis yang sangat menakjubkan. Demikian juga dengan para ulama lainnya. Pada kisah dan peribadi mereka terdapat contoh yang baik untuk kita hayati dan contohi.
Jika kita bandingkan dengan usia kanak-kanak di sekitar kita hari ini, pada usia tersebut kebanyakan mereka masih lagi membaca al-Qur’an dengan merangkak atau mungkin ada yang masih tidak tahu walaupun untuk mengeja. Atau mungkin sebahagian mereka lebih seronok dibuai khayalan kartun-kartun pengkhayal yang menyia-nyiakan waktu sambil memeluk bantal busuk. Hadanallaahu waiyyahum.
Demikianlah keadaannya, di ketika para ilmuan menyibukkan umur-umur mereka dengan al-Qur’an dan hadis-hadis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, sebahagian kita ada yang lebih gembira untuk memilih kartun, muzik, dan video game sebagai santapan rohani anak-anaknya. Sehingga masuk ke sekolah dan universiti pun kita lebih risau jika anak-anak gagal dalam peperiksaan dan tidak meraih peluang pekerjaan yang lumayan. Tetapi amat jarang sekali risau sekiranya anak-anak tidak bersolat dan gagal memahami aqidah yang benar.

___________________________________________________


Sebenarnya kita perlu sentiasa membudayakan tradisi ilmu yang ditinggalkan oleh para ulama sejak seawal-awal usia lagi. Lebih-lebih lagi untuk menangkis syubhat-syubhat yang dihantar oleh musuh-musuh Islam melalui muzik, kartun, massa, pemakanan dan pelbagai bentuk lainnya yang hebat melanda ketika ini. Iaitu dengan menghidupkan budaya bersungguh-sungguh menela’ah, membaca, memahami, dan menghayati sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Berapa ramai di antara kita yang menempatkan buku-buku para ulama di rumah-rumah sebagai bahan bacaan dan rujukan? Sama ada dari rangkaian kitab-kitab aqidah seperti Syarah ath-Thahawiyah oleh Imam Ibnu Abi al-‘Izz al-Hanafi (Wafat: 792H), Syarh as-Sunnah oleh Imam al-Barbahari (Wafat: 329H), Syarah Ushul as-Sunnah Imam Ahmad B. Hanbal (Wafat: 241H), Ahlus Sunnah wa I’tiqaduddiin oleh Ibnu Abi Hatim ar-Razi (Wafat: 327H), ‘Aqidatus Salaf wa Ash-habul Hadtis susunan Imam Abu ‘Utsman ash-Shobuni (Wafat: 449H), Lum’atul I’tiqad oleh Ibnu Qudamah (Wafat: 629H) berserta Syarahnya, al-‘Ubbudiyyah oleh Ibnu Taimiyyah (Wafat: 728H), Fath al-Majid Syarah Kitabut Tauhid, dan selainnya dari jajaran kitab-kitab ilmuan ulung generasi awal ahlus sunnah wal-jama’ah guna buat pedoman? Atau juga kitab-kitab aqidah hasil susunan barisan ulama terkemudian yang mengikuti jejak langkah generasi salafush Sholeh.
Kemudian diikuti pula oleh kitab-kitab tafsir al-Qur’an seperti Tafsir Ibnu Katsir dan kitab-kitab hadis seperti Riyadhus Shalihin oleh Imam an-Nawawi (Wafat: 676H), asas-asas Mustholah al-Hadis, sehinggalah kepada rangkaian kitab-kitab hadis yang utama seperti Shahih al-Bukhari, Muslim, serta siri kitab-kitab syarahannya.
Jangan biarkan anak-anak memenuhi rohaninya dengan majalah para artis dan bintang bola, komik-komik, atau surat khabar-surat khabar yang sering bermain isu serta provokasi. Sehingga risalah hadis empat puluh (al-Arba’in an-Nawawiyyah) pun terasa janggal untuk dibelek sampai ada yang tidak pernah mengetahui kewujudannya. Bimbinglah mereka untuk mengenali para ulama dan karya-karyanya. Jangan biarkan tokoh-tokoh jalanan lebih kita kenali berbanding tokoh-tokoh ulung agama ini. Kerana ilmu yang bermanfaat itu hanya dapat diperolehi dengan menekuni warisan tinggalan ulama berupa aqidah dan akhlak peribadi mereka melalui tokoh-tokoh yang mengikuti mereka serta ilmu-ilmu yang tertuang dalam karya-karya agung mereka yang berisi penjelasan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Atas sebab itulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda (sebagaimana dalam hadis Abu Darda’):
وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris para Nabi. Dan para Nabi itu tidaklah mewariskan dinar mahu pun dirham. Namun, mereka mewariskan ilmu. Maka, sesiapa yang mengambil ilmu tersebut, benar-benar dia telah mendapat kedudukan yang sangat besar.” (Sunan Abu Daud, no. 3641)
Maka kata Imam Ibn Hibban rahimahullah (Wafat: 354H):
والأنبياء لم يورثوا إلا العلم وعلم نبينا صلى الله عليه وسلم سنته فمن تعرى عن معرفتها لم يكن من ورثة الأنبياء
“… para nabi itu tidak mewariskan apa pun melainkan ilmu dan ilmu Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah sunnahnya. Sesiapa pun yang tidak mengetahui sunnah, maka bukanlah pewaris para nabi.” (Shahih Ibnu Hibban, 1/291, tahqiq Syua’ib al-Arna’uth)
Ilmu mengangkat kedudukan
Dengan ilmu darjat seseorang yang beriman diangkat oleh Allah. Ilmu yang benar membantu kita memahami serta melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah. Dengan adanya ilmu di dalam dada, jiwa menjadi bahagia dan tenteram. Dengan ilmu, kita memiliki kefahaman menghadapi pelbagai ujian dan fitnah. Ilmu menjadikan kita mampu membezakan antara yang baik dengan yang buruk, yang maslahah dengan yang mudharat, sekaligus memandu kita supaya memilih kebaikan berbanding keburukan. Dengannyalah juga kita dibimbing untuk berjalan menuju Syurga Allah yang luas terbentang dan menjauhi Neraka yang sengsara.
Buat diri penulis dan rakan pembaca, ingatlah bahawa kebaikan itu hanya diperolehi dengan ilmu-ilmu yang syar’i, iaitu dengan kefahaman dan pengamalan yang benar terhadap agama ini.
Kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Sesiapa yang Allah kehendaki kebaikan untuknya, nescaya Allah faqihkan dia dalam agama.” (Shahih Muslim, no. 1037)
Lihatlah… bukan dijadikan dia banyak wangnya, mewah kenderaan dan pakaiannya, atau tinggi jawatannya. Bukan pula ditinggikan popularitinya! Tetapi kata Nabi:
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
____________________________________



Dan kefaqihan itu tidak datang melayang, melainkan dengan bersusah-payah dan mempertekunkan diri-diri kita dalam mempelajari ilmu-ilmu yang syar’i.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
“Sesiapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu (dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah), maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju Syurga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah sebuah rumah Allah dari rumah-rumah Allah (masjid) untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan ketenangan (sakinah) turun kepada mereka, rahmat Allah meliputi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di hadapan para malaikat yang berada di sisi-Nya.” (Shahih Muslim, no. 2699. Sunan Abi Dawud, no. 1455)
Kata Imam Ibn al-Qayyim rahimahullah (Wafat: 751H), “Sesungguhnya dijadikan menuntut ilmu itu termasuk di jalan Allah, kerana dengannya akan tertegak agama Islam sebagaimana tertegaknya agama dengan jihad, maka kukuhnya agama adalah melalui ilmu dan jihad.” (Miftah Daar As-Sa’aadah, 1/271-273)
Menuntut ilmu perlu berlangsung sepanjang hayat dengan penuh komitmen, kesungguhan, kesabaran, dan konsistensi (istiqomah). Dilaksanakan dengan methodologi dan fasa yang berperingkat. Dimulakan dari tahap yang asas kemudian meningkat setingkat demi setingkat kepada yang lebih dalam dan terperinci.
Keutamaan ilmu tidak terhenti sekadar di dunia. Bahkan setiap ilmu yang bermanfaat pahalanya akan terus kekal mengalir walaupun ditinggal mati. Dan dengan ilmu yang benar juga-lah kelak kita akan terselamat ketika bertemu Allah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah amal-amalnya melainkan tiga perkara, (iaitu) 1 – Sedekah jariyah yang pernah dilakukannya, 2 – Ilmunya yang dimanfaatkan, atau 3 – Anak yang soleh yang mendoakannya.” (Shahih Muslim, no. 1631)
Selain dalil ini, terdapat dalil-dalil lain yang menyebutkan bahawa amalan kebaikan anak-anak yang soleh juga turut mengalirkan pahalanya kepada ibu dan bapa yang telah meninggal dunia walaupun tidak pernah diadakan ritual-ritual khas sedekah pahala seperti tahlilan dan majlis yasinan.
Ini adalah kerana anak-anak itu termasuk ke dalam kategori usaha dan hasil kerja si mati (kedua ibu bapa).
Ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
“Dan bahawasanya seseorang manusia itu tidak mendapat (pahala) melainkan dari apa yang telah diusahakannya.” (Surah an-Najm, 53: 39)
Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya, bahawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
إن أطيب ما أكل الرجل من كسبه، وإن ولده من كسبه
“Sesungguhnya sebaik-baik yang dimakan oleh seseorang itu adalah makanan yang diperolehi dari usahanya sendiri. Sesungguhnya anak itu termasuk dari hasil usahanya.” (Musnad Ahmad, no. 25845. Dinilai hasan oleh Syu’aib al-Arnauth)
Jadi, manfaatkanlah umur yang ada untuk menyuburkan budaya ilmu dan mendidik anak-anak dengannya. Kerana dengan membudayakan ilmu yang bermanfaat, ia membantu meraih keredhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala sekaligus jalan menuju Syurga yang kekal abadi.
Mendidik diri, keluarga, dan anak-anak untuk bercita-cita mati di jalan Allah tidaklah semudah memahatkan cita-cita untuk mati di dalam rumah besar mahupun kereta besar. Maka, sungguh-sungguhlah kita untuk bersama-sama membudayakan ilmu yang syar’i dalam kehidupan kita.
Sahabat Nabi, ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma dinukil berkata:
أَدِّبِ ابْنَكَ، فَإِنَّكَ مَسْئُولٌ عَنْ وَلَدِكَ مَاذَا عَلَّمْتَهُ، وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ بِرِّكَ وَطَوَاعِيَتِهِ لَكَ
“Didiklah anakmu, kerana sesungguhnya kelak engkau akan ditanya tentang anakmu, “Apa yang telah engkau ajarkan?” Dan anakmu pula akan ditanya tentang bakti dan ketaatannya ke atas engkau.” (lihat: Syahus Sunnah oleh Al-Imam Al-Baghawi, 2/408)
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu berkata:
تعلموا العلم، فإن تعلمه لله خشية، وطلبه عبادة، ومدارسته تسبيح، والبحث عنه جهاده، وتعليمه لمن لا يعلمه صدقه، وبذله لأهله قربة، وهو الأنيس فى الوحدة، والصاحب فى الخلوة
“Pelajarilah ilmu, kerana dengan mempelajarinya kerana Allah merupakan tanda takut terhadap-Nya, mencarinya adalah ibadah, menuntutnya adalah tasbih, membahaskannya adalah jihad, mengajarkannya kepada yang belum mengetahui adalah sedekah, usaha memberikannya kepada yang berhak adalah ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah, ilmu adalah teman di saat sendirian dan rakan dalam kesepian.” (Ibnu Qudamah, Mukhtashar Minhajul Qashidin, m/s. 15 – Maktabah Daar al-Bayaan)
Dalam sebuah hadis daripada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ، وَطَالِبُ الْعِلْمِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ كُلُّ شَيْءٍ حَتَّى الْحِيتَانُ فِي الْبَحْرِ
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim, dan para penuntut ilmu (yang syar’i) itu didoakan keampunan oleh segala sesuatu sampai ikan-ikan di lautan pun turut mendoakan keampunan untuknya.” (Jaami’ Bayaan Al-‘Ilmi wa Fadhlihi, no. 13)
Sebagai penutup tajuk ini, penulis tinggalkan pesanan Imam adz-Dzahabi rahimahullah (Wafat: 748H):
نَسْأَل اللهَ عِلْماً نَافِعاً، تَدْرِي مَا العِلْمُ النَّافِع؟هُوَ مَا نَزل بِهِ القُرْآنُ، وَفسَّره الرَّسُول – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَوْلاً وَفعلاً، وَلَمْ يَأْت نَهْي عَنْهُ، قَالَ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ: (مَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي، فَلَيْسَ مِنِّي)، فَعَلَيْك يَا أَخِي بتدبُّر كِتَاب اللهِ، وَبإِدمَان النَّظَر فِي (الصَّحِيْحَيْنِ) و(سُنَن النَّسَائِيّ)، وَ(رِيَاض النَّوَاوِي) وَأَذكَاره، تُفْلِحْ وَتُنْجِحْ، وَإِيَّاكَ وَآرَاءَ عُبَّادِ الفَلاَسِفَة، وَوظَائِفِ أَهْلِ الرِّيَاضَات، وَجُوعَ الرُّهبَان، وَخِطَابَ طَيْشِ رُؤُوْسِ أَصْحَابِ الخلوَات، فُكُلُّ الخَيْر فِي مُتَابعَة الحنِيفِيَة السَّمحَة، فَواغوثَاهُ بِاللهِ، اللَّهُمَّ اهدِنَا إِلَى صرَاطك المُسْتقيم
“Kita memohon kepada Allah ilmu yang bermanfaat. Tahukah kamu apa ilmu yang bermanfaat tersebut? Iaitu ilmu yang turun bersama al-Qur’an dan ditafsirkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dengan ucapan, perbuatan, dan yang tiada larangan darinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Sesiapa yang membenci sunnahku, maka dia tidak termasuk golonganku.” Wahai saudaraku, kamu perlu mempelajari kitab Allah dan menekuni dua kitab Sahih (Shahih al-Bukhari dan Muslim), Sunan an-Nasaa’i, Riyadhus Shalihin, dan al-Adzkar karya Imam an-Nawawi, nescaya kamu akan beruntung dan selamat. Jauhilah syubhat pemikiran ahli falsafah, perbuatan ahli sufi, ajaran para pendeta, dan khayalan orang-orang yang suka menyendiri. Seluruh kebaikan itu adalah dengan mengikuti jalan yang lurus. Mintalah pertolongan kepada Allah. Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami jalan-Mu yang lurus.” (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, 19/339-340).
Wallahu a’lam.

Abu Numair Nawawi B. Subandi